MEMAHAMI AKSI MASSA
(DALANG vs PENANGGUNG JAWAB)
Kreasi R. Matindas
Seorang pemimpin pabrik tertimpa malapetaka. Dalam unjuk rasa yang menuntut kenaikan upah, mobilnya hangus dibakar massa. Nasibnya mirip para korban kasus Metalika. Merasa tidak punya dosa, mereka dirugikan amukan massa. Dan seolah jatuh tertimpa tangga, asuransi menolak klaim mereka.
Setelah huru-hara reda, sang korban datang menjumpai seorang kawan. Dengan penuh emosi, ia ungkapkan rencananya, "Peristiwa ini harus diusut sampai tuntas. Harus cari para pemimpinnya. Mereka harus dihukum berat.”
"Setuju,” sahut sang kawan. Namun di balik kata-katanya, terlintas senyum menggoda. Lalu sambungnya, "Kalau bisa.”
"Kenapa tidak bisa?,” protes sang korban.
"Karena massa, sebetulnya tidak punya pemimpin. Massa bukan organisasi yang punya tujuan dan aturan main yang pasti. Hendaknya tuan sadari bahwa massa adalah kumpulan manusia yang menyatu dalam pikiran, perasaan dan tindakan.”
"Omong kosong!" Sanggah sang korban. "Bagaimana mungkin sedemikian banyak orang bisa bersatu pikiran dan perasaan. Harus ada pemimpinnya, ada yang mengatur dan yang lain ikut komando.”
"Kalau Tuan pernah nonton film yang mencekam, mungkin tuan pernah menjerit, menahan napas dan tertawa bersama penonton lain. Saat itu Tuan larut menjadi massa. Atau barangkali Tuan pernah lupa diri dalam sebuah pesta dan bersama tamu-tamu lain bersorak-sorak menuntut tuan rumah untuk menyanyi. Saat itu pun Tuan larut dalam massa, sekali ini dalam massa yang aktif. Lain lagi kalau Tuan berada di Tampomas II saat kapal itu akan tenggelam atau di Sarinah pada saat gedung itu dilahap api. Di sana, pada waktu itu ada massa aktif yang panik. Semua itu membuktikan bahwa manusia bisa larut dalam massa; entah itu massa-pasif, massa-aktif, massa-panik maupun massa-ganas seperti yang membakar mobil Tuan.”
Sang kawan berhenti sebentar untuk memastikan bahwa sang korban masih tetap memusatkan perhatian pada penjelasannya. Kemudian ia melanjutkan, "Walaupun peluangnya tidak sama, namun tiap orang bisa larut dalam massa, khususnya ke dalam massa-ganas. Peluangnya tergantung pada perbandingan antara faktor pendorong dan faktor penghambat. Faktor penghambat yang paling utama adalah sikap kritis dan nilai nilai moral, sedangkan faktor pendorong adalah kecenderungan orang untuk bersifat 'patuh' pada kelompok serta kuatnya dorongan emosi. Makin tidak rasionil seseorang, makin tidak kritis seseorang atau makin kuat tekanan tekanan hidupnya, makin besar kemungkinan orang itu―sebagai individu―untuk bertindak menyimpang dari perilaku yang diharapkan masyarakat. Nah, terkumpulnya orang orang seperti ini dalam julah besar, semakin memungkinkan terbentuknya massa-ganas.”
"Tapi mengapa kerumunan orang yang semula hanya merupakan massa-pasif dapat berkembang menjadi massa-aktif atau bahkan menjadi massa-ganas?" tanya sang korban.
"Menurut teori, tingkah laku manusia paling sedikit bisa dibedakan ke dalam dua golongan. Yang pertama adalah tingkah laku-instrumental dan yang kedua adalah refleks atau reaksi-spontan. Tingkah laku instrumental, dimunculkan secara sadar untuk mencapai tujuan tertentu. Sebaliknya, reaksi-spontan adalah tingkah laku yang tidak punya tujuan. Tingkah laku ini muncul sebagai akibat tekanan perasaan, dan bukan sebagai pilihan rasional untuk mencapai tujuan tertentu. Contohnya adalah menangis, ngamuk atau tertawa. Kadang-kadang dorongan tingkahlaku ini dapat ditekan atau dikendalikan, paling tidak untuk sementara waktu. Tuan kan bisa menahan marah kalau penyebab kemarahan itu adalah mertua Tuan. Tetapi kalau terlalu sering menahan marah, satu waktu Tuan bisa meledak karena kesalahan kecil yang dilakukan orang lain. Nah, tingkahlaku yang dominan pada saat seseorang larut dalam massa-ganas adalah reaksi spontan. Spontanitas non-rasional ini antara lain bisa timbul karena kuatnya unsur afek (perasaan) sebagai pengendali tindakan. Ada dugaaan bahwa tingkah laku agresif dari massa-ganas adalah bentuk pelampiasan dari perasaan tertekan. Secara sendiri-sendiri, tingkah laku ini sebetulnya sudah lama ingin dilakukan tetapi setiap kali ditekan oleh kesadaran akan akibat negatif yang akan diterima. Keberanian untuk melampiaskan impuls impuls ini antara lain timbul karena secara tak sadar ada anggapan bahwa dengan bergabung dalam massa tindakan itu 'dapat dibenarkan' (karena orang orang lain juga berbuat begitu) atau tidak akan dihukum (kalau semua berbuat maka tidak akan ada hukuman).”
"Tapi kan dalam massa pun selalu ada orang yang memulai sebuah tingkahlaku. Apa mereka ini bukan para pemimpin yang memang merencakan agar diikuti oleh yang lainnya?”
"Mungkin saja hal itu benar. Massa-ganas memang tidak selalu terbentuk secara kebetulan. Ada cara untuk memperbesar peluang kemunculannya. Menyelenggarakan sebuah kegiatan yang memancing terkumpulnya massa adalah salah satu langkah awal dalam usaha menciptakan terjadinya massa-ganas. Langkah lanjutannya adalah usaha untuk membangkitkan 'tingkat-emosionalitas' mereka, misalnya melalui pidato-pidato yang membakar semangat atau melalui ritual-ritual yang meningkatkan 'konformitas'. Dengan memanfaatkan kecendrungan seseorang untuk tunduk pada tuntutan kelompok, seseorang dapat saja disugesti untuk berpikir bahwa kelompoknya menginginkan ia untuk bertindak tertentu. Bila sebagian besar anggota kelompok telah terjebak dalam pola pemikiran seperti ini maka tercetusnya aksi massa hanya tinggal soal waktu saja.”
Setelah diam sejenak sang kawan menambahkan, "Mencari pemimpin massa bukanlah tugas yang sederhana. Orang yang secara sadar melakukan sesuatu supanya diikuti orang lain, sebetulnya bukan bagian dari massa itu. Ia sendiri tidak larut ke dalam massa. Ia bukan pemimpin yang mengendalikan massa, karena massa tidak bisa dikendalikan. Massa hanya bisa dikobarkan semangatnya dan setelah itu mengganas dengan sendirinya. Mereka yang secara sadar membakar massa biasanya segera menghilang begitu massa mulai mengganas. Di samping itu, massa tidak selalu membutuhkan pemimpin. Yang biasanya hadir adalah pelopor yang 'mencontohkan suatu tingkah laku' yang kemudian diikuti oleh yang lain. Para pelopor ini umumnya adalah orang-orang yang sebagai individu pun punya kecenderungan untuk menampilkan tingkahlaku agresif itu. Selain itu, pelopor suatu tingkah laku biasa saja berbeda dari pelopor tingkah laku lainya. Artinya, dalam massa setiap orang sesungguhnya adalah pemimpin dari yang lainnya.”
"Kalau begitu, para penghasut itulah yang harus dimintai pertanggung jawabannya. Merekalah dalangnya yang memungkinkan terjadinya segala kerusuhan. Merekalah pemimpin massa yang mengatur, merekalah dalangnya.”
"Rupanya Tuan belum puas jika belum menemukan orang yang bisa dipersalahkan. Tuan sibuk mencari dalangnya. Sebaliknya saya lebih suka menemukan orang yang seharusnya bertanggung jawab. Pernahkah Tuan sadari bahwa para penghasut hanyalah orang-orang yang memanfaatkan situasi? Hasutan semata tidak pernah cukup kuat kalau tidak didukung oleh faktor situasi. Sebaliknya, tanpa hasutan pun kondisi sosial yang membuat anggota masyarakat merasakan banyak tekanan kehidupan, sudah cukup untuk menimbulkan ledakkan emosional. Tuan kan tidak perlu dihasut untuk memarahi karyawan Tuan? Tapi jika di rumah Tuan banyak jengkel pada istri dan mertua, kemarahan Tuan cuma tinggal soal waktu. Begitu juga unjukrasa yang terjadi dipabrik saudara. Kalau karyawan sama-sekali tidak memendam perasaan tertekan, unjuk rasa seperti itu sangat kecil kemungkinannya.”
Komentar terakhir ini membuat sang korban jadi melotot. Ia bertanya tidak percaya, "Apakah Anda sedang menuduh bahwa saya sendiri yang seharusnya bertanggungjawab terhadap peristiwa unjuk rasa itu?
"Entahlah,” jawab yang ditanya. "Saya bukan hakim. Saya hanya seorang kawan.”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar