JAIL
R. Matindas
Namaku bukan Hendi.Aku tahu betul hal ini, tapi ada sebabnya aku senang dipanggil begitu. Nama baru ini lahir di suatu sore, tanggal 12 Nopember. Tahunnya, bukan 1987.
Sore itu, aku termangu di depan rumah berpagar bambu. Hari itu sudah lima kali aku berbuat begi-tu. Kemarinnya, tujuh kali. Dan sepanjang bulan ini entah berapa ratus kali. Tetapi, betapapun seringnya aku liwati rumah itu, tak sekalipun aku berani melangkahkan kaki kepekarangannya.
Kuintip rumah di balik pagar itu. Jantungku semakin bergetar tak menentu. Sejenak aku terpaku, dan kemudian segera berlalu. Detak jantungku kembali normal, tapi hatiku mesasa sesal.
Sepuluh menit kemudian, aku sudah disitu lagi. Jantungku berdetak lebih keras, darahku mengalir makin deras. Hatiku gelisah, mataku menatap kian kemari. Tiba-tiba rintik hujan mengelus pipiku. Aku segera berlari. Berlindung di bawah atap kios rokok. Dari sini, mataku kembali menatap ke balik pagar bambu. Penuh harap akan sempat menampak wajah si dia.Sementara itu hujan turun semakin deras. Aku agak menggigil dan tiba-tiba kepingin kencing. Tapi keinginan itu segera sirna, ketika sebuah becak berhenti di depan rumah itu. Di dalamnya duduk dengan anggun seorang jelmaan bidadari. Sejenak ia memandang padaku, penuh takjub, seakan tak percaya aku bisa ada di situ. Kemudian, ..... semua berlangsung seperti biasa. Seperti setiap saat bila kami beradu pandang. Dia tidak membuang muka, dia juga tidak tersenyum malu. Dia hanya memandang, tidak lebih dari itu.
Dia turun dari becak setelah lebih dulu membayar ongkosnya. Lalu ia berjongkok, membuka geren-del pintu pagarnya, mendorong pintu itu, menyelinap ke sebelah dalam, dan merapatkan kembali pintunya. Semua gerakan itu dilakukannya dengan tenang, tanpa mempedulikan hujan yang meng-guyur tubuhnya. Tadinya aku berharap bahwa di antara gerakan-gerakannya itu ada sekali waktu ia sudi menoleh padaku. Tapi seperti pada tiap perjumpaan yang lalu, begitu saja dia berlalu.
Dialah gadis pujaan hatiku. Murid sekolah di seberang rumahku. Dialah bunga mimpi yang meng-ganggu tidurku. Tapi, sekalipun ia belum sudi menegur diriku. Atau, ..... haruskah aku yang mulai dulu ?
Entah berapa lama aku terbius oleh lamunanku. Ketika sadar, ternyata hujan telah berlalu. Sebagai ganti hujan, datanglah kenekatan memenuhi hatiku. Sekonyong-konyong aku sudah melangkah memasuki pekarangan rumahnya. Kuketuk pintu yang jelas-jelas ada bel listriknya. Pintu dibuka, dan sebuah pertanyaan diajukan : "cari siapa ya ?"
"Selamat sore", sapaku,: "Boleh saya ketemu dengan Ita ?"
"Oh, cari Tante Ita ? Mari masuk", sahut wanita yang membuka pintu itu. Menurut dugaanku, dia pasti kakaknya pujaanku.
Aku menanggalkan sandalku yang kotor di depan pintu. Di ruang tamu, seorang anak kecil menyambut kedatanganku. Dari informasi yang aku miliki, dia pasti Yani. Keponakannya yang baru berusia 4 1/2 tahun. Dia memandangku, kemudian berkata seperti kepada diri sendiri. : "Eh, koq kaya potret yang dimejanya tante Ita ?"
"Hush, masuk sana ! Jangan suka bongkar rahasia. Panggil tante Ita. Bilang ada tamu cakep".
Yani berlari ke dalam meninggalkan aku yang tak henti berpikir : "Potretku ada dimejanya Ita ? Dari mana dia dapat ?" Aku tidak sempat berpikir lama karena tiba-tiba Ita sudah berdiri di hadap-anku.
"Kamu?, ... Koq nekat, berani ke mari ?" Sapa Ita dengan senyum yang luar biasa manisnya. Senyum-ya membuat aku bengong, dan perubahan tabiatnya membuat aku bingung.
"Lho, koq diam saja. Mendadak bisu ya ?"Aku makin gugup, walaupun rasa heranku mulai berku-rang. Barangkali memang beginilah aslinya dia.
"Kamu itu bisu, atau terpesona oleh kecantikan Ita sih ?"
Kini aku berhasil tersenyum, dan mulai dapat menguasai diri.
"Selamat sore", kataku sambil memperlebar senyum. Dia sendiri sudah berhenti tersenyum dan se-karang menatapku tajam-tajam. Dari ujung rambut sampai ujung kaki ia selidiki seluruh penam-pilanku. Akhirnya, tatapannya berhenti di ujung kakiku yang tidak beralas."Jempol kamu koq besar sebelah ?" tanyanya tanpa mengangkat kepala.
Aku kembali terdiam. Habis akalku dibuatnya. Untunglah tiba-tiba ada suara ibunya, yang menye-lamatkan aku dari siksaan itu.
"Ita, ..... anterin mami ke dokter ya ?"
"Yach ma, ..... Ita ada tamu nih". Kemudian ia menoleh kepadaku. Tersenyum kecil sambil menge-dipkan matanya. "Eh, kamu jangan kayak patung dong. Duduk deh". Dan dia memberi contoh un-tuk duduk. Aku meniru contohnya dan menunggu dengan hati dag dig dug. Ibunya muncul sambil mengajukan pertanyaan : "Tamu ..... siapa ?"
"Ini lho ma, temen Ita yang sering Ita ceritain".
Hatiku melonjak girang mendengar kata-katanya. Rupanya Ita punya perhatian terhadap diriku. Dia menyimpan potretku dan sering bercerita tentang aku. Tapi, kegirangan itu segera sirna setelah mendengar kata-kata ibunya. : "Oh, ini toch namanya Hendi. Koq baru sekarang mau main kemari?"
Aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Hatiku masih gundah karena ternyata yang sering diceri-takan Ita adalah pemuda lain yang bernama Hendi. Kata-kata Ita menyelamatkan aku dari kegu-gupan.
"Ma, mama ke dokternya sama Elly aja ya. Ita pengen ngoborl sama Hendi. Kan Hendi baru sekali ini ke mari".
Kegirangan yang tadi pergi, sekarang kembali lagi. Rupanya memang aku yang sering dia cerita-kan. Hanya agak aneh kalau dia mengira namaku Hendi. Dia kan tahu betul namaku yang sebe-narnya.
"Elly musti belajar. Dia besok ada ulangan Kimia. Ita ngobrol saja dulu sama Hendi. Mama kan enggak sekarang juga pergi ke dokter. Mama kan belum ganti baju". Habis berkata begini ia menoleh padaku. "Hendi jangan malu-malu lho, biar baru sekali datang. Anggap saja di rumah sendiri. Tante tinggal dulu ya, mau ganti baju". Dia mengakhiri kata-katanya sambil melangkah masuk ke dalam.
"Sialan", ku dengar Ita menggerutu. "Dandan kan paling lama sejam juga kelar. Masa kasih kesem-patan ngobrol cuma sejam". Habis itu ia tersenyum : "Sudah sembuh penyakit groginya ?"
Aku hanya bisa membalas senyumnya, dan mulai lagi merasakan kegugupanku.
"Ita seneng lho kamu mau mampir. Biasanya cuma lewat-lewat di depan".
"Ita koq tau, saya sering lewat di depan ?"
"Tau dong. Ita kan selalu memperhatikan gerak-gerik Hendi".
"Gombal". Pikirku dalam hati. Tapi toh kegombalan itu membuat aku merasa senang. Tiba-tiba rasa kepingin kencingku muncul kembali. Untung ibunya minta dianterin ke dokter, jadi aku tak perlu lama-lama di sini. Aku mulai membayangkan sudut-sudut jalan yang strategis untuk tempat kencingku nanti.
"Koq diam saja ?" Tanya Ita mengalihkan pikiranku.
"Gugup", jawabku. Dan anehnya jawaban ini mengurangi sebagian besar kegugupanku.
"Kamu koq pasrah saja dipanggil Hendi ?" Tanyanya sambil menatap tajam.
"Habis mau bagaimana lagi". Jawabku.
"Mulai sekarang kamu saya panggil Hendi ya ? Mau ?"
"Boleh saja".
Pembicaraan kami terputus dengan masuknya Elly.
"Ta, tamu koq tidak disuguhin. Bilangin bi Inah tuh. Suruh bikin minum".
"Ye..... masak tamu spesial minumnya dibikin bi Inah. Enggak akh. Biar gue bikinin sendiri". Setelah berkata begitu dia berdiri sambil melanjutkan: "Kak Hendi mau minum kopi atau teh ?"
"Teh aja deh. Saya enggak minum kopi".
“Akh, kalau gitu saya bikinin kopi.”
Ita melangkah menuju ke dapur, tapi segera berbalik dan berkata : "Hampir saya lupa. Hati-hati sama dia", katanya sambil menunjuk ke Elly. Jangan kena dirayu. Dia enggak bisa liat cowok keren". Kemudian dia kembali ke dapur, meninggalkan perasaan bangga dalam diriku.
"Namanya Hendi ya ?" tanya Elly membuka pembicaraan.
"Iya, kamu Elly kan ?!"
"Lho, koq tau ?"
"Tau dong. Kamu sekolahnya di Tarakanita kan ?!" kataku sambil melayangkan pandangan ke halaman belakang rumah di mana terjemur seragam drumband Tarakanita.
"Kamu ini dukun ramal ya ?"
"Barang kali juga. Kamu besok harus ulangan kimia. Iya kan?"
Elly menatapku dengan kagum, sementara aku sendiri menduga-duga, apakah ia tadi tidak mendengar percakapan antara Ita dan Ibunya.
Ita telah kembali dari dapur membawa tiga cangkir minuman. Cangkirnya berwarna coklat sehingga aku tidak bisa persis tahu apa isinya. Tapi, kayaknya memang kopi. Kopi yang di seduh sendiri oleh Ita untuk tamu spesialnya. Amboi.
"Minumannya, masih panas sekali lho. Saya sengaja bikin yang panas. Biar enggak bisa buru-buru diminum jadi enggak bisa cepet-cepat pulang".
"Du illah Ita. Sampe segitunya ....."goda Elly.
"Biarin", sahut Ita". "Hendi ini kan baru sekarang mau mampir ke mari".
Kali ini pembicaraan kami terpotong oleh masuknya Ibu Ita. Ia sudah berdandan rapih dan aku merasa disindir untuk segera pergi. Untung minumannya masih panas.
"Hendi enggak usah merasa di usir lho. Tante enggak buru-buru koq. Soalnya dokter tante ini dokter pribadi, jadi waktunya bisa diatur". Kemudian dia seperti terkejut menyadari kehadiran Elly.
"Lho, Elly ini gimana ? Katanya mau belajar. Koq malah ngobrol. Kalau enggak belajar, kamu saja yang anterin mama. Biar Ita bisa menemin Hendi".
Hatiku jadi melonjak kegirangan. Ini benar-benar calon mertua idaman. Mengerti maunya calon mantu.
"Elly enggak ngobrol koq ma. Hendi ini kan kakak kelas Elly. Elly lagi nanya soal pelajaran yang besok mau ulangan". Gadis ini ternyata cukup pandai berbohong.
"Allah. Alasan saja kamu. Dasar enggak bisa liat orang cakep".
Hari ini sudah ketiga kalinya aku dibilang cakep atau ganteng. Aku mulai kuatir jangan-jangan sudah menjadi kebiasaan dikeluarga ini untuk memuji para tamunya. Tapi, bisa juga aku sendiri yang kurang menyadari bahwa aku memang betul-betul ganteng. Siapa tahu.
"Mama enggak bisa biarin Elly seneng deh", gerutu si gadis sambil melangkah masuk. Ibunya mengalihkan pandangan kepadaku,: "Diminum dong kopinya". Dia sendiri mengangkat cangkir yang tadinya mungkin disediakan untuk Elly. Aku mengikuti perbuatannya, dan menjadi heran karena cangkir yang kupegang sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda pernah panas. Kata-kata Ita tadi jelas hanya untuk membesarkan hatiku. Aku memandang kepadanya, dan dia tersenyum nakal. Diangkatnya cangkirnya sendiri dan ia mendahului aku meneguk minumannya.
Tiba-tiba aku kepingin muntah. Kopi yang kuteguk ternyata diramu dengan merica, terazi dan ikan asin. Sekali lagi aku memandang pada Ita. Tapi kali ini ia menatapku tanda rasa berdosa.
"Kurang manis ya? Ita ambilin gula ya ?"
"Enggak usah Ta. Biar aja". Aku memaksa meneguk beberapa tetes lagi dan mencoba untuk tersenyum. "Enak koq", kataku menipu diri sendiri.
"Iya ? Akh ..masa ?" kali ini Ita tersenyum sambil mengedipkan matanya. "Kak Hendi pasti cuma mengobral pujian. Ita kan enggak banyak tahu soal-soal dapur. Jangan-jangan kopi nya terasa jamu".
"Bajingan". Makiku dalam hati. Untung kata-kata ibunya kemudian membawa sedikit hiburan.:"Hendi harus bangga lho, Ita mau bikinin minuman sendiri. Biasanya dia enggak pernah mau tau urusan dapur". Lagi-lagi si Ibu memuji diriku. Aku makin yakin bahwa puji-memuji sudah jadi kebudayaan di rumah ini. Tapi tokh aku merasa bangga juga.
"Ma", terdengar suara Elly dari dalam. "Ada telpon dari dokter Ilyas".
Sebetulnya aku sama sekali tidak mendengar ada suara dering telepon. Jangan-jangan ini kode supaya aku segera angkat kaki. Dugaanku makin kuat ketika ternyata ibunya bangkit untuk berjalan ke dalam meninggalkan aku berdua dengan Ita. Kami saling tatap, walau hanya sejenak. Tiba-tiba seekor kucing menyelong masuk mencuri perhatian Ita. Ia segera berdiri mengusir kucing itu. Sejenak aku melihat suatu kesempatan luar biasa. Segera kutukar cangkirku dengan cangkir Ita. "Biar kamu rasain nanti". Pikirku dalam hati. (Bukan dengan otak)
Ita hanya sebentar mengurusi kucing yang nakal itu. Ia berdiri didepanku dengan wajah yang dibuat sedih.: "Hen, jangan marah ya. Sebetulnya Ita masih pengen ngejailin kamu. Tapi saya sudah harus menganterin ibu. Bukan ngusir lho. Kamu ke sini lagih deh malam minggu. Mau kan?"
"Tentu dong", jawabku dengan hati yang sebetulnya ragu.
"Sebelum pulang, diabisin dulu deh minumnya", ia menawarkan.
Kuangkat cangkir dihadapanku". Temenin dong", kataku sambil mengajaknya mengadu gelas. Dia menyambut tanpa dapat menyembunyikan keheranannya. Kami melakukan toast.
"Untuk keabadian persahabatan kita", katanya.
"Demi keadilan", pikirku dalam hati sambil merapatkan cangkir itu ke mulutku. Samar sekali ada bekas lipstik dibagian cangkir yang menyentuh bibirku. Hatiku jadi bergetar, sementara Ita terbatuk-batuk. Rupanya baru kali ini ia merasakan kopi campur terazi.Aku menunggu dia marah, tapi penantianku sia-sia belaka. Dia malah tersenyum dan aku menampak sinar mata kekaguman dimatanya. Rupanya perbuatan seperti inilah yang bisa menjatuhkan hatinya. Aku jadi lebih berani untuk bertindak lebih jauh.
"Ta, dari rasanya, kayaknya lipstik kamu merek Dior ya ?" aku menggoda. Dia memperbesar senyumnya, namun katata-katanya terdengar datar.:
"Maaf, tapi sudah waktunya saya harus mengantar ibu. Kalau mau ngobrol sama Elly silahkan, kalau mau nemenin saya nganter ibu lebih baik lagi. Kayanya asyik juga kalau kita naik beca bertiga".
"Ta, saya boleh numpang ke kamar mandi enggak ?" rasa kencingku kini benar sudah tidak tertahan.
"Oh", dia kaget sejenak, tapi segera dapat menenangkan diri, "mari, ..... liwat sini".
Aku berjalan mengiringi dia, tapi sampai di depan kamar mandi dia mencegah aku untuk segera masuk.
"Nanti dulu ya, jangan buru-buru. Siapa tahu ada perabotan yang kurang pantas kamu pandang". Ia masuk sebentar, dan segera ke luar lagi. "Aman, silahkan masuk".
Aku masuk ke dalam, dan sementara aku berusaha untuk menemukan cara untuk mengunci pintu itu, aku mendengar pintu dikunci dari luar.
"Hen, saya anterin mama dulu ya, kamu tunggu saja disitu", aku mendengar suara Ita yang seperti biasanya, disampaikan tanpa rasa dosa. Rupanya, dia tadi masuk bukan untuk melihat perabotan, melainkan untuk mengambil anak kunci. Aku masih belum tahu apa yang harus aku perbuat, ketika suara Ita kembali menggombal.: "Soalnya saya enggak rela kamu pulang. Kangen saya belum abis. Saya juga enggak rela kalau kamu kelamaan ngobrol sama Elly. Hati saya bisa enggah tenang ....."
Setelah itu langkah Ita terdengar menjauh pergi.
Kemudian hening dan sesudah itu pening. Aku benar-benar bingung. Mau berteriak aku tidak berani. Aku juga ragu apakah sebaiknya aku mengetuk pintu supaya ada orang yang membukakan pintu itu dari luar. Aku benar-benar hilang akal dan mulai menikmati lamunan tentang Ita. Ku amati seluruh isi kamar mandi. Ada beberapa sikat gigi di situ. Kuambil satu yang bertuliskan nama Ita. Aku sempat agak lama berpikir tentang apa yang seharusnya aku lakukan dengan benda-benda yang sering beradu dengan bibir kekasihku itu. Akhirnya kumasukkan sikat gigi itu ke dalam saku. Untuk kenangan dimasa tuaku nanti.
Tiba-tiba aku dikejutkan oleh terbukanya pintu kamar mandi itu. Soalnya aku masih terlalu gugup karena baru saja mencuri sikat gigi. Itu sebabnya aku tidak berdaya mencegah terbukanya pintu itu, walaupun sesungguhnya aku mendengar bunyi anak kunci diputar. Di hadapanku berdiri Elly dengan pakaian yang agak minim, siap untuk mandi. Sedetik dia terkejut, tapi segera bisa mengendalikan diri. Dia kemudian menghilang untuk merapihkannya, dan sesudah itu kami bertemu di ruang tamu.
"Sorry El, ini pekerjaan Ita". kataku sambil menelan ludah.
"Enggak apa-apa. Dia memang jail. Kamu berniat membuat pembalasan ?"
"Pembalasan ?" aku bertanya seperti kepada diri sendiri.
"Bagaimana caranya ?"
"Gini aja. Di rumah ini kan penghuninya cuma wanita. Jadi kita semua sudah terbiasa untuk ke kamar mandi dengan pakaian minim ..... seperti saya tadi", berkata sampai di sini dia agak tersipu-sipu. Hanya sebentar, karena segera dia dapat menguasai diri. Barangkali di rumah ini semua orang sudah berlatih sandiwara sejak kecil. Entahlah, tetapi yang pasti Elly segera bisa berkata-kata dengan wajar.: "Sekarang kita tungguin Ita pulang. Pasti enggak terlalu lama deh. Begitu Ita sama mama sampai di pintu pagar, kamu buru-buru masuk ke kamar mandi lagi....."
"Lalu ?", tanyaku memotong penjelasannya.
"Pura-pura kamu masih aja terkunci di situ. Ita kan tadi belum mandi....."
"Belum mandi ? Akh kayaknya sudah koq ! aku memprotes.
"Belum, dia belum mandi. Kamu aja yang terlalu kesemsem sama dia..... Pokoknya dia belum mandi. Jadi nanti kalau dia mau mandi kan pasti masuk ke kamar mandi, dengan pakaian minim lagi. Seterunya, ..... bisa kamu bayangin sendiri".
Elly tidak melanjutkan kata-katanya. Dia senyum malu-malu. Aku sendiri sudah mulai membayangkan apa yang bakal akusaksikan nanti. Agak serem juga. Seram dan menegangkan.
"Nanti Ita bakal marah enggak ?" tanyaku kemudian.
"Ya ampun, kamu koq takut benar sih sama Ita. Dia marah juga kan enggak apa-apa. Lagian, Elly jamin dia enggak bakal marah. Dia cukup sportif. Seneng ngerjain orang, tapi bisa terima kalah. Kalau enggak sekarang, kapan lagi kesempatan kamu ngerjain dia ?"
Aku terdiam dan ingat sikap Ita ketika aku berhasil menyuguhkan dia teh ramuannya sendiri. Kayaknya memang aku harus menjaili dia supaya dia agak memandang padaku. Siapa tahu kalau dia berhasil aku kerjain dia justru akan terpikat padaku. Mudah-mudahan saja.
"Oke deh kalau begitu", jawabku kemudian.
"Kalau begitu, sekarang saya mandi dulu. Kamu jangan ngintip ya. Kamu melihat-lihat album aja dulu nungguin saya kelar mandi".
Elly mandi tidak terlalu lama dan sementara itu aku mengisi waktu sambil melihat album keluarga mereka. Salah satu album rupanya khusus digunakan untuk menyimpan foto-foto perayaan ulang tahun Ita yang ke 17. Sebuah pesta yang cukup ramai, tapi tanpa satu pun tamu yang aku kenal. Pada hal hampir semua teman sekolah Ita adalah orang-orang yang sering main denganku."Nyari foto pacarnya Ita ya ?" suara Elly tiba-tiba mengalihkan perhatianku. Jantungku jadi berdebar keras. Apa Ita sudah punya pacar ?
"Enggak usah kuatir deh. Sampe sekarang Ita masih belum pernah pacaran. Kamu ini tamu laki-laki pertama yang datang nyariin Ita. Biasanya semua tamu laki itu datangnya nyariin saya".
Aku tidak mengomentari kata-katanya. Rasanya dia itu cuma membual. Tapi aku merasa senang untuk mempercayai kata-katanya itu. Keheningan diantara kami tidak berlangsung lama, karena tiba-tiba pintu pagar tampak bergoyang.
"Buruan, tuh Ita pulang. Cepat masuk ke kamar mandi. Dan.... jangan lupa perhatikan kode saya. Kalau saya batuk-batuk, artinya yang ke kamar mandi bukan Ita. Kamu jangan sampai salah. Kalau Ita yang ke kamar mandi, saya akan nyanyi lagu maju tak gentar ....."
Kira-kira tiga menit aku di kamar mandi, ketika kudengar Elly menyanyi. Ternyata suaranya merdu sekali. Aku tiba-tiba punya pikiran baru. Kalau enggak dapat Ita, Elly pun Oke. Tapi pikiranku segera buyar, karena kudengar langkah kaki mendekat. Jantungku berdebar keras. Aku sudah mengambil keputusan untuk berlaku nekat. Begitu Ita masuk akan kupeluk dia. Masa bodoh apa yang terjadi kemudian.
Aku menjalankan rencanaku dengan sempurna, tapi hasilnya sungguh di luar dugaan. Begitu aku memeluk sosok tubuh wanita yang masuk ke kamar mandi, aku segera melepaskannya kembali dan mundur dengan muka pucat. Elly ternyata tidak kalah jail dari Ita. Yang kupeluk adalah bi Inah. Pembantu rumah tangga keluarga itu. Aku mendadak lemas, sementara bi Inah berteriak keras:"
"Kapok,..... kapok. Saya kapok kerja di sini. Biar besok saya pulang ke Madiun ....."
"Sabar bi Inah, sabar..... Anak-anak kan cuma bercanda". Terdengar suara sang ibu mencoba menenangkan bi Inah. Kemudian ia tujukan kata-katanya kepadaku.: "Jangan kapok ya main ke sini. Anak tante yang dua ini memang seneng bercanda. Kamu nama sebenarnya siapa sih ?"
"Nama sebenarnya ?", aku bertanya pada diri sendiri. "Memangnya ibu ini tahu bahwa nama saya bukan Hendi ?"
Sang ibu rupanya mampu membaca jalan pikiranku. "Nama kamu kan pasti bukan Hendi. Hendi itu nama yang selalu tante kasih untuk tiap laki-laki yang datang mencari Ita atau Elly ....."
Blaang. Kepalaku terasa dihantam palu godam. Marah, malu jengkel semuanya bercampur menjadi satu. Tapi siksaan batin begitu ternyata tidak berakhir hanya sampai di situ. Si ibu meneruskan kata-katanya yang makin menyayat kalbu.: "Bagaimana tadi rasa kopi jamunya ? Kalau suka, di dapur masih banyak. Itu kan suguhan kehormatan kami untuk tamu-tamu yang baru pertama kali datang kemari ....."
"Oh Tuhan" Aku menjerit dalam hati. Aku sudah tidak sanggup mendengarkan kata-kata selanjutnya. Semua kebanggaan akan puja- puji yang pernah mereka ucapkan sekarang benar-benar sirna tanpa bekas, kecuali luka yang dalam. Sangat dalam. Dengan langkah gontai aku berjalan kepintu depan. Aku mencari sandal yang kucopot tadi. Aku mau pulang. Tapi sandalku tidak ada di situ.
"Nyari sandal ya ?" Tiba-tiba aku mendengar suara bi Inah. Dia tidak lagi terlihat sebagai orang yang sempat kaget karena dipeluk pemuda ganteng seperti diriku. Barang kali juga dia sudah sering dipeluk.
"Nyari sandal ya ?" Bi Inah mengulang pertanyaannya. "Sandalnya bi Inah simpan. Untuk kenang-kenangan ! Jarang-jarang ada cowok yang meluk bi Inah"
"Persetan" Makiku dalam hati. Dengan kaki telanjang aku beranjak ke pagar. Ketika membuka pintu pagar, masih kudengar suara Ita.: "Malam minggu jadi ke sini ‘kan ?"
Aku sempat bimbang. Dan kebimbangan itu digunakan Ita untuk datang menghampiri. Dibelakangnya ada Yani, si kecil yang selama ini sembunyi entah di mana. Aku menatap mata Ita dan untuk pertama kali ia menghindari pandanganku. Katanya lirih : "Baru kamu seorang yang tahu merek lipstik saya".
Aku diam. Dia diam. Kemudian sekali lagi kami saling beradu pandang. Dan seperti biasa, dia tidak membuang muka. Dia tidak melotot. Juga tidak tersenyum. Keheningan itu dipecahkan oleh suara Yani :"Om mau pulang ya ? Kalau kesini lagi bawain Yani coklat ya ?"
"Akh Yani". Aku jadi teringat kata-kata sambutannya tadi. Betulkah Ita memiliki potretku ? Aku sendiri percaya bahwa diam-diam Ita menaruh perhatian padaku. Pada tiap perjumpaan kami, aku merasakan adanya ungkapan perasaan itu liwat sinar matanya. Dan aku tidak bisa percaya bahwa anak seumur Yani sudah bisa diajak berkomplot untuk menyusahkan orang lain. Aku perlu pembuktian ada tidaknya potret itu. Aku harus kembali malam minggu.
"Baik, saya akan kembali malam minggu", sahutku pada Ita.
"Terima kasih", ia menjawab sambil menundukkan muka.
***
Malam minggunya aku tidak berhasil menjumpai Ita. Dia pergi nonton bersama pacarnya. Elly pun tidak di rumah. Yang ada hanya Yani dan ibunya. Dengan menyuguhkan Yani coklat yang dimintanya, aku berhasil melihat meja belajar Ita. Aku mau menyaksikan potret yang menurut Yani mirip wajahku. Dan inilah yang kutemukan di meja Ita. Lukisan Indah. Seekor monyet menjulurkan lidah.
Mirip sekali kan?” tanya si kecil tanpa rasa dosa.
"Akh Yani", pikirku dalam hati. "Di rumah ini, mungkin hanya engkaulah satu-satunya orang yang masih jujur dengan apa yang kau katakan ......"
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar