Senin, 20 Oktober 2008

KEBUTUHAN vs TUJUAN

KEBUTUHAN vs TUJUAN
Kreasi R. Matindas

Di pasar Ciniki, Nyonya Canika menawar mangga, "Berapa Bang,
mangganya?"
"Untuk Ibu tiga ribu bolehlah."
"Yang benar dong, Bang, masak tiga ribu. Dua setengah ya?
"Tiga ribu juga sudah murah, Bu. Saya juga nggak ambil untung kok."
"Lha, Si Abang, pandai benar bualnya. Masa dagang enggak ambil untung"
"Betul Bu, Ibu kan langganan. Saya ambil untungnya dari orang lain saja.”
"Eit, terbongkar deh rahasia Abang. Saya kan bukan langganan. Baru sekali saya ketemu Abang. Ketahuan deh Abang itu suka bohong. Jadi pasti tiga ribu itu juga bohong kan..."
"Wah, salah saya rupanya. Ibu ini ternyata bukan langganan. Mustinya Ibu ini saya kasih harga empat ribu. Tapi biarlah, sudah terlanjur. Saya kira Ibu langganan.”
"Pintar juga ilmu bohongnya Si Abang. Bisa aja nyari alasan. Jangan suka bohong, Bang. Nanti kualat."
"Sungguh mati Bu, saya enggak bohong. Habis ibu mirip sih kayak langganan saya yang bintang film itu.”

***
Obral kata-kata manis dari penjual rupanya tidak mengurangi niat Nyonya Canika untuk terus menyerang. "Tambah lagi dah bohongnya. Mana ada bintang film yang mau belanja ke Abang. Kaya keren aja Abang. Jangan suka bohong, Bang. Nanti enggak ada lagi orang yang mau beli ke Abang. Lagian pembohong itu nantinya masuk neraka lho, Bang."
"Ibu kalau mau belanja ya belanjalah. Kalau memang enggak ada duitnya, ya jangan ngabisin waktu saya...”
"Eh, Si Abang kok jadi sewot. Dagang itu harus pakai sopan santu,n Bang. Kalau Abang cara dagangnya kayak begini, sampai kiamat juga enggak bakal laku.”
"Iya kalau yang belanja modelnya kayak ibu semua, memang mendingan enggak usah jualan. Maunya ngomong aja, tapi kagak beli-beli. Ibu kalo cara nawarnya kayak begini, sampai tua juga engak bakal ada yang mau jual.
Perang kata-kata berlangsung makin seru. Dan akhirnya Nyonya Canika kehabisan persedian caci maki. Ia beralih ke pedagang di sebelah, yang menjual mangga dengan ukuran yang sama.
"Berapa Bang, mangganya?”
"Tiga ribu lima ratus, Bu.”
Nyonya Canika mengeluarkan uang lima ribu sambil menambahkan: "Enggak usah dikembaliin, Bang. Untuk pembeli itu sebetulnya soal harga tidak terlalu penting. Asal yang jual itu orangnya sopan." Ia mengakhiri kata-katanya sambil melirik ke pedagang pertama seolah-olah mau berkata, "Rasain lu."
Pedagang ini tidak kehilangan akal. Digapainya seorang nyonya lain sambil berkata: "Bu, mangga, Bu. Murah. Cuma dua ribu. Soalnya, untuk penjual, harga tidak terlalu penting. Asal pembelinya tahu diri saja.”

***
Pulang dari pasar, Nyonya Canika menawar bajaj dengan sadis. Ia lupa bahwa sila kedua Pancasila adalah perikemanusiaan. Setelah proses tawar-menawar yang panjang, akhirnya dicapai kesepakatan. Namun ketika turun di rumahnya, nyonya yang cantik ini memberikan uang lebih dari yang disepakati, "Tidak usah dikembalikan, Bang." Ia rupanya merasa kasihan kepada Si Penarik Bajaj yang tergolong makhluk “TOP” (Tua, Ompong, dan Peyot).

***

Anda pun mungkin pernah bertindak seperti Nyonya Canika. Mati-matian menawar untuk kepuasan emosi. Kemudian, juga karena faktor emosi, membayar lebih dari yang seharusnya. Banyak orang yang bertanya, “Untuk apa nawar kalau akhirnya membayar lebih?" Jawabannya terletak pada dalil psikologi, "Lebih banyak manusia yang bereaksi terhadap suasana hati, daripada memutuskan berdasarkan logika". Manusia pada dasarnya bukan makhluk yang rasional semata. Secara sadar manusia bisa mengendalikan pikiran untuk mengusahakan tujuan dan sasaran. Namun di bawah sadar, manusia didorong oleh kebutuhan. Paling tidak, begitulah kata Sigmund Freud. Dan tampaknya, Freud tidaklah sangat keliru.

Tidak ada komentar:

Arsip Blog