GusDur Vs Amien Rais
Antara Persaingan dan Permusuhan
R. Matindas
Saya sudah lupa kapan dan dimana menonton filem berjudul “War of the Roses”. Tapi kesannya masih kuat melekat. Kalah jadi abu, menang jadi arang. Film yang antara lain diperankan Dani di Vito itu mencerikan permusuhan antara suami dan istri. Rasa permusuhan itu mendorong keduanya untuk saling menyakiti pihak lain, walaupun sebetulnya pihak yang menyakiti tidak mendapat keuntungan apa-apa. Si suami memotong semua hak sepatu istrinya dan si istri membunuh anjing kesayangan suami.Lalu disuguhkan sebagai perkedel.
Rasa permusuhan memang mendorong manusia untuk bertindak emosional dengan tujuan sekedar menyusahkan orang lain. Ini jauh berbeda ketika orang lain dilihat sebagai saingan bukan sebagai musuh. Ruud Gulit jelas merasa bersaingan dengan Marco van Basten untuk memperoleh gelar pemain Eropah terbaik. Namun dalam persaingan mereka, baik Ruud Gulit maupun Marco van Basten tidak pernah berusaha untuk mencederai satu sama lain. Sebaliknya mereka selalu saling-bahu membahu demi kepentingan tim nasional Belanda.
Gulit dan Van Basten pasti tidak selamanya sepakat dalam segala hal. Namun perbedaan pendapat tidak selalu harus dikembangkan jadi permusuhan. Perbedaan pendapat juga tidak selalu perlu meningkat jadi konflik. Saya ingat persaingan saya dengan teman SMA untuk menjadi murid yang dianggap terpandai. Ada kalanya kami tergoda untuk saling menjatuhkan dan bukannya berusaha untuk saling bantu meningkatkan prestasi. Situasi berubah ketika kami ditipu seorang teman yang sebetulnya ingin kami berdamai. Ia mengatakan punya bocoran soal ulangan umum dan mengajak kami mengerjakan bersama. Waktu pendapat saya tidak sama dengan pendapat teman saya, kami mula-berdebat dalam suasana “adu-gengsi” dan bukan dalam semangat mencari solusi. Tetapi juru damai kami mengingatkan bahwa kami punya kepentingan yang lebih tinggi. Kami butuh jawaban yang benar, sehingga kami kemudian berembuk mencari penyelesaian.
Di kemudian hari ketika saya mendapatkan kesulitan untuk menyelesaikan sebuah persoalan, saya kalahkan gengsi saya dan minta pendapat teman itu. Saya memanfaatkan dia untuk perkembangan saya seperti dia pun akhirnya sering memanfaatkan saya untuk kepentingan perkembangan dirinya. Hubungan kami kemudian menjadi hubungan persaingan dan bukan permusuhan.
Hubungan itu senada dengan hubungan majalah Times dan Newsweek, yang sahamnya dipegang orang yang sama. Mereka bersaing, dan persaingan itu menyebabkan mereka selalu berusaha meningkatkan dirinya. Kalau saingan hilang, kita kehilangan mitra-latih dan akhirnya kehilangan mitra-tanding.
Sewaktu Garuda Indonesia, Telkom dan beberapa perusahaan lain masih memegang monopoli, mereka tidak punya saingan. Ketiadaan saingan mengurangi motivasi untuk mengembangkan diri. Dalil kehidupan alam bahkan menunjukkan perlunya keragaman untuk perkembangan.
Rasa permusuhan seringkali hanya memungkinkan dua pihak bekerja sama kalau mereka melihat musuh bersama. Adik-kakak yang sedang bertengkar memperebutkan jatah menggunakan mobil bisa berdamai dan bekerja sama menentang orang tua kalau orang tuanya mau memakai mobilnya. Saya kuatir, kerjasama antara Gus Dur dan Amien Rais di waktu lalu hanya karena mereka punya Soeharto sebagai musuh bersama. Padahal, sebetulnya musuh bersama bangsa ini bukanlah Soeharto melainkan kemiskinan, baik mental, moral maupun material. Mudahan-mudah Gus dan Amin masih bisa melihat adanya musuh bersama ini dan kemudian menyatukan langkah untuk memeranginya. Namun akan jauh lebih baik jika mereka tidak punya rasa permusuhan satu terhadap lainnya, sehingga tidak ada kecurigaan. Biarlah mereka bersaing menjadi “politisi” terbaik yang pernah di miliki Indonesia. Bersainglah seperti Ruud Gulit bersaing melawan Marco Van Basten.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar