Senin, 20 Oktober 2008

Metaphora Pencarian Tuhan

Kenalkan: "AMITRI"
Oleh: R. Matindas


Amitri baru berusia empat belas tahun ketika ayahnya sakit keras. Segala usaha telah dicoba untuk menyelamatkan nyawanya, tapi tampaknya ia memang harus pergi. Karena ingin menjamin kebahagiaan anaknya, ia menanyakan kesediaan Ami untuk bertunangan dengan Djames. Ami tak terlalu mengenal Djames, tapi ia percaya Ayahnya tak mungkin berniat buruk. Maka diresmikanlah ikatan antara Ami dan Djames.
Lima tahun setelah bertunangan, Ami bertemu dengan Johan. Saat itu Ami adalah seorang mahasiswi dan Johan adalah staf pengajar yang ditunjuk memimpin study tour. Ami terpikat oleh cara Johan mengatur study tour. Tidak sedikit orang yang mengingatkan Ami bahwa ia telah bertunangan, tapi cinta membuat Ami sanggup memerangi setiap rintangan. Kepada Irwie, teman dekatnya Ami berkata, "Kadang kadang saya menyesal sudah ditunangkan. Djames itu sepertinya tidak pernah memperhatikan saya. Saya mau ke kiri atau ke kanan, tidak pernah dia keberatan. Apapun yang mau saya lakukan, rasanya dia takkan perduli... Saya jadinya ragu, apa betul dia cinta saya."
Sewaktu Irwie mengancam akan melaporkan kata-katanya kepada Djames, Ami menjawab yakin, "Silahkan, Wie. Djames juga tahu bahwa saya meragukan dia. Dan dia tidak keberatan. Dia betul betul tidak perduli.”
Kemudian kepada ibunya, yang mengingatkan bahwa ia tidak dipaksa untuk bertunangan dengan Djames, Ami berdalih, "Dulu, saya memang bersedia ditunangkan dengan Djames. Tapi, waktu itu kan saya belum bisa berpikir kritis. Saya tidak terlalu kenal Djames. Saya bertunangan ketiga ayah sakit keras. Ayah ingin saya bertunangan dengan Djames. Ayah percaya sekali pada Djames, dan saya percaya pada Ayah.”
Selain menghadapi tentangan Irwie dan Ibunya, Ami juga harus menghadapi rongrongan Edi, teman yang selalu bersamanya sejak di Taman Kanak-Kanak. Kepada Edi, yang dengan segala cara mencoba menghalangi hubungannya dengan Johan, Ami berkata, "Djames sebetulnya sangat baik. Tapi dia kurang romantis. Lagi pula dia dia baik kepada semua orang. Aku sama sekali tak pernah merasa jadi istimewa. Johan lain. Ia membuat aku merasa hidup. Ia membuat aku penasaran. Ia bisa membuatku kesal, tapi juga bahagia. cemburu tapi juga bangga. Selain itu ia jujur. Ia terus terang mengatakan bahwa ia beristri dan punya anak, tapi ia cinta padaku. Dan aku pun cinta padanya.”
Edi mengingatkan bahwa Johan bukannya jujur melainkan licik. "Ia tahu bahwa ada hal-hal yang tak bisa ia sembunyikan. Ia ceritakan hal-hal itu agar kau mengira ia jujur. Tapi semua kebusukkan lain, ia sembunyikan. Ingat Mie, dia itu jelmaan setan.”
Ami tak menggubris peringatan Edi. "Kau iri karena aku cinta padanya. Kau menuduhnya macam-macam, tapi tak satupun yang dapat kau buktikan. Sudahlah, jangan ganggu aku.”
Lain waktu, kepada Edi Ami mengeluh, "Aku tak tahu apa yang diberikan Djames kepadaku. Semua orang selalu bilang ia yang membantu aku. Kalau aku berhasil, orang bilang itu berkat bantuan Djames. Ketika aku sakit, orang bilang Djames yang merawatku. Nyatanya aku tak pernah merasakan kebaikannya. Nyatanya ia hanya memberikan larangan. Ia hanya hadir untuk menghukum diriku dengan rasa salah kalau aku bertindak di luar keharusan. Ia hanya memberikan ketenangan kalau aku bertindak sesuai tuntutan kelayakan. Ia hanya memberikan ketenangan, padahal aku membutuhkan kebahagian, Aku butuh tantangan.”

***
Untuk melunasi angsuran pertama biaya study stour, Ami menggelapkan sumbangan duka cita yang diterimanya ketika membantu bibinya yang kematian suaminya. Teguran Irwie diabaikan. Ia bahkan bergurau dengan berkata, "Masih untung, aku cuma mengambil sedikit, sekedar untuk melunasi angsuran pertama. Untuk angsuran kedua, nanti saja. Siapa tahu tante Ar menyusul suaminya.”
Kesadaran Ami baru tersentak ketika menjelang keberangkatannya, gurauannya berubah jadi kenyataan. Tantenya menyusul pamannya. Di kuburan ketika menangis melampiaskan rasa sesalnya, Ami dihibur Edi. Di antara kata-kata Edi ada bagian yang tak terlupakan Ami:" Aku akan selalu ada di sampingmu. Jika kau salah melangkah, aku akan mengingatkanmu. Akan kutempuh segala cara agar kau berjalan di jalur kebenaran. Jika perlu aku akan melakukan hal-hal yang menyakitkan hatimu. Tapi bila kau dilanda duka, bila kau dirundung sesal, aku akan menghibur agar kau kuat tegak berdiri.”

***
Selama study tour, Ami semakin dekat pada Johan, bersaing dengan Sarah yang juga menginginkan Johan. Edi tak henti berusaha mencegah Ami. Hari demi hari Ami terlibat pertengkaran dengan Edi. Dalam kesalnya Ami berteriak, "Kenapa kau selalu gerecoki aku. Di sana ada banyak penyelewengan moral, dan kau tutup mata. Kenapa kau tak perduli pada hubungan Ninit dengan Pudjo yang sebetulnya sudah beristri. Kenapa kau tak gubris Lisa yang terus menggoda pak Amir. Sebetulnya, apa pedulimu padaku?”
Terhadap semua caci maki Ami, Edi menjawab penuh keyakinan, "Aku hanya ada karena kau. Aku ikut tour ini karena kau. Tugasku hanyalah mengurus dirimu. Karena mereka menitipkan kau kepadaku.”
"Mereka? Siapa mereka? Siapa yang menitipkan aku padamu?"
"Orangtuamu, teman-temanmu, Djames dan juga seluruh dunia. menitipkan kau kepadaku. Ingat kata-kataku dikuburan dulu? Segala cara akan aku tempuh untuk menuntunmu ke jalan yang benar. Kalau perlu dengan cara-cara yang menyakitkan dirimu. Ami, aku ini sesungguhnya hati nuranimu.”
Rintangan Edi tak mampu meredam niat Ami. Di malam terakhir tour mereka, Ami membius Edi. Ketika Edi terlena, Ami menyerahkan jiwa raganya kepada Johan. Dan segera setelah itu ia sadar, Johan tak hanya menikmati cintanya seorang. Sebelumnya dengan Sarah ia telah melakukan hal serupa. Hancurlah hati Ami. Dengan mata berkaca, ia meratap di hadapan Johan: "Dulu kutinggalkan Djames karena merasa tak diistimewakan olehnya. Ia baik kepada tiap orang. Kini, apa bedamu dengan dia?.”
Lalu, dirasuk dendam, dengan pisau terhunus, Ami menghampiri Sarah. Tapi dokter rombongan berhasil melumpuhkan Ami dengan obat penangan. Ami tertidur dan memutuskan tak mau bangun lagi.
***
Di kamarnya yang dingin dan beku, berhari hari Ami berbaring tanpa suara. Djames setia mendampingi Ami, bermain catur seorang diri. Edi setiap hari datang menjenguk dan mencoba membangkitkan semangat Ami.
"Hai gadis sombong, saya tahu sekarang kau menyesal. Tapi kau terlalu angkuh untuk mengakui kesalahanmu. Sekarang kau coba berlindung dibalik sikap membisu. Kau kira kau aman dalam sikap ini. Tidak Ami, sikapmu tidak bisa membuat aku diam. Aku tetap berpegang pada janjiku untuk terus mengusik kesadaranmu. Akan kutempuh segala cara untuk membawamu ke jalan yang benar. Jika perlu dengan menyakiti hatimu. Inilah jelmaan cintaku kepadamu. Ami... Aku cinta kamu. Dengan caraku sendiri.”
"Mana Johanmu yang kau agungkan itu. Mana kejujurannya yang kau puja-puji. Kau kira hanya dari Johan kau bisa mendapatkan kebahagiaan. Lihat siapa yang setia mendampingimu. Tak malukah kau? Dulu kau sesumbar mencari tantangan. Sambut tantangan ini. Keluarlah dari benteng kebisuanmu. Berlututlah dan mohonkan ampun padanya.”
Tak tahan mendengar kata-kata Edi yang bagaikan keluar dari lubuk hatinya sendiri, Ami mendekapkan tangan ke kupingnya sambil menjerit "Diam! Pergi kau!”
Tapi Edi tak sudi beranjak: "Tidak Ami. Aku tidak mau pergi. Aku tidak akan meninggalkan kamu dan membiarkanmu makin jauh tersesat. Kau harus sadar bahwa semua ini terjadi akibat kelengahanku dalam mengawasi tingkah lakumu. Kau campurkan obat bius ke dalam minumanku dan aku tertidur. Lalu semua itu terjadi. Sekarang aku akan kembali mengusik kesadaranmu.”

***
Ketika Edi telah berlalu, dengan kepedihan hati Ami memohon, "Djames... Kenapa... Kenapa kau siksa aku dengan penyesalan. Kau siksa aku dengan rasa salah yang mendalam. Mengapa sekarang kau tunjukkan cintamu. Kenapa kau tidak mencerca aku? Kenapa tidak kau tinggalkan aku? ...Kasihani aku Djames. Tinggalkanlah aku. Biarkan aku hancur sendirian. Jangan tambah penderitaanku dengan rasa salah yang menyiksa ini... Pergilah.”
Sambil mengerakkan buah catur, Djames menjawab perlahan, "Aku tidak akan meninggalkan kau di saat kau membutuhkan aku.”
Ami menarik napas panjang dan melanjutkan keluhannya: "Djames, kenapa tidak dari dulu kau tunjukkan cintamu. Jawablah Djames! Kenapa? ... Mengapa kau diam saja? Mengapa kau tak mau menjawab? ...Djames, jawab Djames... jawablah.”
Djames tetap asyik dengan buah caturnya. Ami menyeka air mata dan melanjutkan, "Djames aku mengaku bersalah. Hukumlah aku. Tinggalkan aku. Aku rela. Aku bisa menerima bahwa kau kecewa padaku."
Djames menggerakkan sebuah bidak hitam menuju petak promosi. Ami kembali duduk dengan pandangan kosong. Djames menggerakkan benteng putih ke depan bidak hitam menghalangi kemungkinan promosi. Kemudian ia berbalik dan melangkah menuju pembaringan. Ia duduk di sebelah Ami sambil berkata, "Ami, kau cinta padaku?"
Setelah Ami mengangguk ia melanjutkan, "Kau boleh mencintai aku, tapi jangan mengatur aku. Jangan ajarkan bagaimana seharusnya aku bersikap padamu. Aku lebih tahu.”
Ami bicara pada dirinya sendiri, "Sudah nasibku. Aku tunangangannya. Aku harus mengabdi kepadanya, tapi aku tak boleh mengharapkan apa-apa darinya.”
Sambil tetap memandang papan catur, Djames bertanya, "Kepentingan siapakah yang kau pikirkan di saat kau mencintai seseorang? Kepentinganmu? Atau kepentingannya?"
Ami menatap langit-langit dengan pandangan kosong. Bibirnya bergerak perlahan, "Cinta. Cintakah aku padanya? Bencikah aku pada Johan? Aku tidak tahu. Aku tidak bisa memahami cinta.“
Djames membelai rambut Ami. "Aku sarankan agar kau memikirkan
kepentinganmu.”
"Aku tidak tahu, aku kira cintaku telah padam. Yang tersisa kini cuma rasa
bersalah. Dan untuk menebusnya, aku rela kau perlakukan apa saja.”
Sambil kembali melangkah ke papan catur Djames berkata: "Ami, kau sangka aku butuh cintamu?"
"Aku tidak tahu apa-apa. Aku pun tidak tahu apakah kau mencintai aku. Dulu, sepertinya kau sia-siakan aku. Kau bersikap seolah olah tak perduli padaku. Tapi, setiap kali kesulitan menimpa diriku, kau hadir menunggui aku. Aku tidak mengerti dirimu.”
"Kau tidak akan pernah bisa mengerti. Dan kau tidak perlu mengerti. Kau hanya perlu percaya.”
"Percaya ? Percaya apa?"
"Percaya bahwa aku mencintaimu. Dan juga percaya bahwa aku tidak butuh cintamu. Cintaku bagimu adalah cinta yang tulus. Bersih. Cinta yang tidak memiliki persyaratan. Cinta yang kuberikan bagimu bukanlah imbalan untuk sikapmu kepadaku. Apapun yang kau lakukan aku tetap mencintaimu. Seperti Edi, akupun mencintaimu dengan caraku sendiri. Kau bebas berbuat apa saja. Kau bebas menjadi apa saja, tanpa perlu takut kehilangan cintaku. Aku bisa mencintaimu seperti ini karena sesungguhnya aku tidak membutuhkan kamu.”
Djames sejenak memandang Ami. Lalu kembali memperhatikan papan catur. Ia menggerakkan benteng putih untuk memakan bidak hitam. Dari situ ia melanjutkan bicaranya, "Ami, ada sebuah kenyataan. Kenyataan yang teramat pahit. Suka atau tidak suka, sanggup atau tidak sanggup kau harus menghadapi kenyataan itu.”
"Barangkali aku tidak suka. Mungkin aku tidak sanggup. Tapi kalau toh aku harus, aku siap menghadapinya.”
"Aku serba kecukupan dengan keadaan diriku. Cintamu tidak menambah apa-apa bagiku. Dan bila kau tidak mencintai diriku, aku tidak kehilangan apa apa.”
"Lalu kenapa aku harus mencintaimu. Kenapa aku harus ikut kehendakmu ? Kenapa aku harus mengabdi kepadamu?.”
Djames menggerakkan kuda hitam untuk mengancam raja putih. Suaranya datar ketika ia berkata, "Karena kau percaya bahwa kau harus mengabdi. Karena kau percaya bahwa kau harus ikut kehendakku. Karena kau percaya pada orang-orang lain, dan bukan kepadaku.”
"Dan kalau aku percaya kepadamu?”
"Maka kau harus percaya bahwa aku tidak butuh cintamu. Dan karena itu aku tak butuh pengabdianmu. Sekali lagi aku katakan, aku serba kecukupan dengan keadaan diriku.”
"Tapi kau bilang kau cinta padaku .."
"Memang, tapi cintaku tidak menuntut apa apa. Bagimu ada segala kebebasan. Tentu dengan masing masing konsekuensinya. Cintailah aku kalau kau mau. Tapi ingat, kau mencintai aku untuk kepentingan dirimu. Bukan untuk kepentinganku.”
"Untuk kepentinganku?”
"Ya, untuk kepentinganmu!”
Ami memandang dengan wajah tak mengerti. Ia terus memandang ketika Djames berjalan menghampirinya sambil melanjutkan, "Kau perlu mencintai aku, supaya kau mendapatkan ketenangan. Dan ketenganan itu sebetulnya bukan aku yang berikan. Ketenangan itu lahir dari cintamu. Jika kau mencintai Johan, kau mendapatkan kebahagian dan juga penderitaan. Tapi kebahagiaan dan penderitaan itu juga bukan pemberian Johan. Semuanya berasal dari cintamu.”
"Ketenangan... sekarang aku memang ingin ketenangan. Tapi, tak bolehkah aku mengharap kebahagiaan?.”
"Aku tidak pernah melarang.”
"Mungkinkah aku mendapatkan kebahagiaaan itu?"
"Aku tak menjanjikan kebahagiaan bagimu. Aku janjikan ketenangan.”
Djames kembali berjalan kearah papan catur, mengerakkan raja putih
ketempat yang aman, kemudian merubuhkan raja hitam tanpa menyerah. Tanpa intonasi ia menerangkan, "Kebahagiaan hanyalah salah satu sisi dari sekeping mata uang. Sisi lainnya adalah penderitaan. Tak akan ada kebahagian tanpa penderitaan. Bukankah kau juga tidak mungkin istirahat tanpa bekerja ? Catatlah dalam kamusmu bahwa kebahagiaan selalu akan datang bergantian dengan penderitaan. Inilah hukum keseimbangan alam.”
"Aku siap menderita, asal sekali sekali bisa merasakan kebahagiaan.”
"Kalau begitu, cintailah Johan. Tapi ingat, cintailah dia untuk kepentinganmu. Jangan untuk kepentingannya.”
"Kau tak keberatan bila aku mencintai Johan?"
"Untuk terakhir kalinya aku katakan, aku cinta padamu tapi tidak butuh
cintamu. Bagimu tersedia segala kebebasan. Kebebasan dengan konsekuensinya. Aku tidak memberikan larangan aku tidak memberikan keharusan aku juga tidak memberikan ketenangan. Semua yang kau rasakan dan kau alami bersumber pada dirimu sendiri. Jangan cintai aku karena mengira kau harus. Cintailah aku karena memang kau ingin.”
Djames menyusun buah buah catur pada posisi awal, lalu melangkah kan bidak putih di depan mentri. Setelah itu ia memandang Ami dan berkata, "Kini kau telah sanggup untuk kembali mandiri. Dan kemandirianmu itu adalah cita-citaku.” Ia kemudian melangkah pergi.
Mata Ami mengikuti gerakan Djames. Ia ingat ada hal yang harus ia tanyakan, "Djames, sebelum kau pergi. .... Benarkah kau dulu menitipkan aku
pada Edi?.”
Sayup-sayup Ami mendengar jawaban, "Aku dapat menemui kau setiap waktu aku inginkan. Aku tidak pernah butuh seorang perantara. Tetapi banyak orang akan bicara atas namaku. Banyak orang seakan ingin menjadi wakilku. Mereka punya pendapat tentang diriku. Mereka yakin bahwa mereka benar. Mereka bahkan yakin bahwa aku mengutus mereka untuk bicara kepadamu. Anehnya banyak sekali orang yang percaya bahwa aku benar benar mengutus mereka. Kau juga boleh percaya. Tapi kau tidak harus percaya. Kau boleh juga tidak percaya. Yang penting kau percaya padaku.”
Ami turun dari pembaringan. Matanya bercahaya, langkahnya mantap. Mulutnya mengucap perlahan, "Djames, aku percaya padamu. Aku cinta padamu.”

***
Esoknya, ketika semua mata memandang Ami dengan ragu bercampur heran, Ami melangkah mantap menghampiri Edi. "Aku telah bertemu dan berbicara sendiri dengan-Nya. Ternyata, Dia tidak seperti yang kalian sangka."

________________________

Hikayat Amitri adalah simbol perjalan iman saya. Seperti Ami menerima Djames, saya pun menerima Tuhan ketika saya belum sanggup berpikir kritis. Waktu itu, saya bukannya percaya pada Tuhan melainkan percaya kepada orang-orang yang bercerita tentang Tuhan. Ketika kemudian berjumpa dengan-Nya, setelah lebih dahulu terpikat setan, saya tahu bahwa Tuhan tidak seperti yang banyak diceritakan orang.

Tidak ada komentar:

Arsip Blog