MENJADI PEREMPUAN
(Bukan Lelaki, Bukan Wanita).
Oleh R. Matindas.
Bahwa perempuan bukan lelaki, mungkin tak kan mengundang perdebatan. Namun, membedakan perempuan dari wanita tentu menghadirkan tanda tanya. Tanda tanya ini muncul karena banyak yang belum tahu bahwa wanita adalah istilah yang tidak disukai oleh para pemberdaya kaum hawa Indonesia. Istilah ini ditolak karena banyak yang percaya bahwa wanita berasal dari kata betina. Padahal betina adalah istilah yang hanya layak digunakan untuk hewan. Di lain pihak kata perempuan, dianggap berasal dari imbuhan pe-an terhadap kata empu. Per-empu-an sebuah kata yang digunakan untuk orang-orang terhormat. Jadi, menyebut kaum hawa sebagai perempuan menunjukkan adanya penghargaan, sedang menyebutnya sebagai wanita adalah penghinaan. Sudah tentu, orang lebih suka dipuja dari pada dihina.
Kebutuhan mendapatkan penghargaan, adalah kebutuhan yang dimiliki tiap orang. Demi penghargaan, banyak orang yang rela mengorbankan keinginan-keinginan lain. Dalam keadaan sangat lapar pun, masih banyak orang yang menolak tawaran makanan. Dalam keadaan susahpun, masih banyak orang yang menolak tawaran bantuan. Penolakkan terhadap suatu tawaran umumnya dilandasi pikiran bahwa menerima tawaran itu dapat mengancam harga diri.
Menolak sesuatu yang sebetulnya dibutuhkan, mengungkap kenyataan bahwa pada dasarnya hidup manusia adalah pergulatan antara sejumlah keinginan. Hampir tiap saat dalam hidupnya manusia dihadapkan pada pilihan untuk memenangkan salah satu dari dua atau lebih keinginan yang bersengketa. Pagi hari kita dihadapkan pada konflik antara bangun atau meneruskan mimpi. Siang hari ada konflik antara memilih pitza atau gado-gado dan malam ada pilihan antara nonton AFI atau KDI. Singkatnya, manusia memang senantian disiksa pilihan, yang berpangkal pada keinginan.
Sampai hari ini, belum ada kesepakatan mengenai asal usul keinginan. Ada pihak yang bilang keinginan bersifat instinctual. Ada juga yang pihak yang yakin bahwa keinginan merupakan sesuatu yang socially constructed. Menurut kelompok pertama, keinginan muncul secara alami mengikuti perubahan kondisi fisiologik dan hormonal. Contohnya adalah kenyataan bahwa orang yang lapar otomatis ingin makan, orang yang ngantuk ingin segera tidur, dan yang sedang horney akan gelisah mencari penyaluran. Untuk kelompok kedua, ─yaitu pendukung teori konstruksi sosial─ semua contoh di atas belum merupakan keinginan. Ingin makan, bukanlah keinginan, melainkan sekedar padanan kata dari lapar. Baru jika seseorang berniat menyantap bakmi atau bubur papeda, dia punya keinginan. Horney juga bukan keinginan, melainkan kondisi ketubuhan. Baru jika seseorang bimbang untuk memilih partner bercinta, dia punya keinginan. Dan keinginan itu, ─baik bubur papeda, bubur manado ataupun bibir manado (untuk yang horney)─, terbentuk karena yang bersangkutan punya pengalaman hidup di lingkungan tertentu. Pendukung teori rekayasa sosial yakin bahwa orang-orang yang tidak pernah tahu adanya bubur papeda yang terbuat dari sagu, tidak ‘kan pernah menginginkan jenis makanan itu.
Pengaruh rekayasa sosial, membuat sebagian kaum hawa generasi 2000an, tak lagi bercita-cita menjadi ‘wanita’ seperti yang didambakan calon mertua. Diri impian kaum hawa masa kini adalah kemandirian, kemitraan sejajar dan persamaan hak dengan kaum pria. Kaum hawa masa kini ingin menjadi perempuan yang setara dengan lelaki, karena dalam penghayatan mereka, hanya kesetaraan dengan lelaki yang membuka peluang bagi pengembangan diri. Diri impian ini (yaitu bagian diri yang secara sadar dihayati oleh pribadi yang bersangkutan) sangat boleh jadi tidak identik dengan dengan diri-nyata maupun diri-tuntutan.
Diri nyata, merupakan bagian diri yang sesuai dengan kenyataan, meskipun tidak selamanya sesuai dengan keinginan. Banyak pemuda yang gelisah karena menyadari bahwa tampilan otot-ototnya kurang macho. Ada pemudi yang sedih karena warna-kulitnya tak seputih bintang iklan lux, dan ada juga kakek-nenek yang menyesali kondisi giginya tak lagi mampu mengunyah kacang garuda. Semua ini adalah contoh diri-nyata yang berbeda dengan diri-impian. Tentu saja selain bagian yang menyebabkan depresi ada juga bagian diri nyata yang membangkitkan kepercayaan diri serta memberikan perasaan puas atau bangga.
Selain diri nyata dan diri impian, sesungguhnya masih ada diri tuntutan, yang berisi kesadaran seseorang mengenai tuntutan masyarakat terhadap diri mereka. Bagian ini memang bukan bagian yang selalu jelas, karena tidak jarang tuntutan orang atau kelompok tertentu, jauh berbeda ─bahkan bertentangan─ dengan tuntutan orang atau kelompok lainnya. Selain itu, ada tuntutan yang rela dipenuhi meski dengan rasa terpaksa dan ada pula tuntutan yang membebani bukan karena tak mampu dipenuhi, melainkan karena bertolak belakang dengan diri-impian.
Kombinasi ketiga bagian diri ini menentukan kesejahteraan seseorang dari sudut pandang dirinya sendiri. Makin besar tumpang tindih (overlapping) antara ketiga bagian diri ini, makin besar pula diri-sejahtera yang dimiliki seseorang. Yang ideal tentu saja kalau ketiga komponen diri ini identik satu dengan lainnya. Jika semua tuntutan telah sesuai dengan keinginan, dan yang diingin tak lagi berbeda dari kenyataan, orang yang bersangkutan pastilah merasa sejahtera.
Sebaliknya, jika ketiga bagian diri ini saling terpisah satu dari lainnya, timbul pertanyaan. Sejauh manakah perluasan bagian diri sejahtera berada dalam kendali pribadi yang bersangkutan?. Mungkinkah seseorang secara sengaja mengusahakan agar ketiga bagian diri ini semakin serupa satu dengan lainnya? Atau, apakah luasnya diri-sejahtera semata-mata tergantung pada nasib baik dan jasa leluhur?
Kenyataan memang menunjukkan bahwa tuntutan terhadap kaum hawa berbeda dari tuntutan terhadap kaum adam. Dengan kata lain, yang diidealkan untuk perempuan bukanlah yang diidealkan untuk lelaki. Sebetulnya tidak apa-apa, selama pandangan terhadap “manusia ideal” tidak diidentikkan hanya dengan gambaran yang dituntut terhadap para pria. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa kriteria kedewasaan, ─yang secara tidak langsung berarti kriteria manusia ideal ─ lebih sarat dengan gambaran lelaki ideal, dan bukan gambaran perempuan ideal. Sebagai akibatnya, kaum hawa yang ingin menjadi manusia ideal, harus siap untuk dipandang sebagai perempuan yang tidak normal. Dan sebaliknya kalau ia ingin menjadi perempuan ideal, ia harus mengorbankan keinginan untuk jadi manusia ideal. Singkatnya, untuk menjadi manusia, kaum hawa tidak boleh menjadi perempuan.
Untuk meluruskan ketimpangan di atas perlu disadari bahwa diri-impian sesungguhnya adalah internalisasi dari diri-tuntutan. Dengan sedikit kesadaran kritis, kita mampu menyadari bahwa diri-tuntutan bukanlah sesuatu tak mungkin ditawar-tawar. Sikap kritis akan membantu kita menyadari bahwa sering kali beberapa tuntutan justru saling bertentangan satu dengan lainnya. Ini berarti bahwa kitalah yang berhak memilih tuntutan mana yang ingin dipenuhi. Menyadari adanya kehendak bebas akan membantu kita untuk cuek terhadap sejumlah tuntutan yang tak sesuai kenyataan atau tak sesuai keinginan. Sebaliknya, menyangkal adanya kehendak bebas, mendorong seseorang untuk menyalahkan lingkungan ketika keinginannya tak sesuai dengan kenyataan.
Karena itu, mereka yang ingin sejahtera, harus mampu menetapkan pilihan untuk menjadi perempuan. Menjadi perempuan berarti menjadi pribadi yang dihormati, bukan (hanya) oleh lingkungan, melainkan terutama oleh diri sendiri. Hal ini hanya tercapai jika kita tidak tunduk pada tuntutan yang tak layak dipenuhi (meskipun tuntutan itu datang dari calon mertua).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar