Senin, 20 Oktober 2008

Kartono, Kartini masa kini

KARTONO vs KARTINI


Kreasi R Matindas





21 April 1986. Kepada saya datang seorang mahasiswa. Namanya Kartono. Ia korban ketidak adilan dan dinyatakan gagal dalam ujian. Padahal rekannya yang selalu membutuhkan bantuannya justru lulus dengan angka istimewa. Kartono lalu mengikuti jejak Kartini, berontak pada ketidakadilan.

Walau gagal mendapat tanggapan dari Biro Pendidikan, Kartono tidak putus asa. Kepada diri sendiri ia berjanji, "Aku akan gigih seperti Kartini.” Maka lalu kepadanya saya berkata, "Kartini, berhasil menunjukkan bahwa ketidakkeadilan bukan hanya menimpa dirinya sendiri. Kartini tidak hanya berjuang untuk dirinya sendiri. Jadi carilah orang-orang lain yang senasib denganmu dan kemudian kita lancarkan gerakan Kartono.”



23 April 1986. Kartono datang bersama selusin rekannya. "Kami telah diperlakukan tidak adil. Seperti Kartini, kami akan berjuang melawan ketidak adilan.” Saya tangkap semangat pemberontakan di mata mereka lalu saya katakan, "Kartini berhasil menunjukkan bahwa kasusnya bukan hanya sebuah kebetulan. Ketidak adilan terhadap kaumnya adalah gejala kronis sebagai akibat kesalahan sistim. Jadi kumpulkanlah data untuk membuktikan bahwa nasib kalian merupakan bukti kesalahan sistim. Lalu akan kita lancarkan gerakan Kartono.”



21 April 1989. Tiga tahun kemudian Kartono datang lagi menemui saya. Dia baru lulus dalam sebuah ujian yang sulit. Namun dia tetap tidak puas karena temannya dinyatakan gagal. "Kawan saya itu jelas lebih pandai dari saya. Dia juga disiplin dalam mengerjakan tugas-tugas. Dia tidak lulus karena sentimen pribadi. Saya tak mau menutup mata terhadap ketidak adilan ini. Saya ingin seperti Kartini. Berjuang bukan hanya untuk kepentingan pribadi.” Saya jabat tangannya dan kepadanya saya katakan, "Berjanjilah untuk menjadi Kartini abad ini. Berjuanglah memenuhi tantangan zaman ini. Kamu tak perlu lagi meributkan emansipasi bagi perempuan. Ketidakadilan zaman ini bukan menimpa kaum perempuan melainkan rakyat jelata.



Tahun-tahun berikutnya saya banyak mendapat tembusan surat Kartono kepada sahabat-sahabatnya di luar negeri.



8 Desember 1992. Menjelangi Nyonya Gorbachev di Unisoviet. "Rekanku, aku ikut gembira bahwa akhirnya kau dinyatakan tak bersalah. Namun diam-diam aku iri karena di negaramu ada pengadilan yang jujur dan objektif.”



12 Januari 1993. Buat Madame Tatcher di UK. "Temanku, adikku gagal masuk universitas. Kau tahu kami hanya rakyat jelata. Kami tak mampu membayar uang suap...”



15 Februari 1993. Kepada Meuvrow Juliana di Netherland. "Kawanku... aku masih belum memperoleh pekerjaan. Aku tak punya relasi. Aku tak punya koneksi...”



18 Maret 1993. Untuk Mrs. Clinton di USA. "Sahabatku, Ayahku kalah tender, kau pasti tahu apa penyebabnya.”



Surat-surat Kartono berkisah tentang ketidakadilan zaman modern. Dia tidak hanya mengeluh tetapi juga mendiskusikan gagasan-gagasannya mengenai cara-cara memerangi ketidakadilan. Dalam salah satu suratnya, seperti Kartini, ia menulis, "Akhirnya aku menyimpulkan bahwa rakyat kecil bukannya lemah. Mereka bodoh. Mereka harus memperluas pengetahuan mereka, mereka harus meningkatkan taraf pendidikan mereka... akh salah! Aku harus berusaha meningkatkan taraf pendidikan mereka."



21 April 1993. Hari ini di mejaku ada sepucuk surat. Untuk tuan New Abendanon, penganjur gerakan Kartono. "Abangku, aku sekarang menetap di desa. Meninggalkan segala kemewahan kota. Mencoba membantu rakyat jelata. Agar mereka tak lagi lemah. Agar mereka tak lagi jadi korban. Aku mencoba berjuang bukan untuk diriku, tetapi untuk kaumku... Salam hangat dari adikmu, Kartono.”



Merenung dalam kesunyian, saya menarik napas panjang, dengan satu keluhan singkat, "Kisah Kartono, sayangnya cuma suatu cerita fiktif."

Tidak ada komentar:

Arsip Blog