Senin, 20 Oktober 2008

Membina Pergaulan

Membina Pergaulan Yang Harmonis


Oleh : R. Matindas





Pengantar

Dalam pengalaman hidup kita, barangkali kita sering mendengar nasihat-nasihat seperti, "Jangan bergaul dengan orang seperti itu,” atau "hati-hati memilih lingkungan pergaulan."

Nasihat-nasihat di atas sesungguhnya mencerminkan adanya kekhawatiran bahwa pergaulan tertentu dapat memberikan pengaruh negatif terhadap seseorang. Hal ini menimbulkan suatu pertanyaan, "Bagaimanakah seharusnya membina pergaulan ?"

Untuk menjawab pertanyaan di atas, ada sejumlah pertanyaan lain yang harus dijawab terlebih dahulu. Pertanyaan-pertanyaan itu antara lain adalah :

Apakah sebetulnya pergaulan itu ?

Apa saja yang terja di dalam pergaulan ?

Mengapa manusia memerlukan pergaulan ?

Apa manfaat pergaulan yang baik? dan

Bagaimana caranya memanfaatkan pergaulan itu ?



Pertanyaan-pertanyaan di atas dan sejumlah pertanyaan lain yang berhubungan dengan masalah pergaulan, akan coba dibahas secara singkat..



Hakikat Pergaulan

Kalau kita bicara tentang pergaulan, maka yang umumnya kita pikirkan adalah hubungan persahabatan yang ada antara seseorang dengan orang lain. Kita jarang mengasosiasikan pergaulan dengan hubungan kerja. Dengan kata lain, kita umumnya memberikan pengertian yang berbeda kepada “lingkungan-kerja” dan “lingkungan-pergaulan”.







Bagi mereka yang masih sekolah, kita pun seakan-akan membedakan anatara lingkungan sekolah dengan lingkungan pergaulan. Semua ini menunjukkan bahwa orang lebih mengartikan "pergaulan" sebagai sesuatu yang lebih dekat dengan "bermain" daripada dengan sesuatu yang serius seperti "bekerja" atau "bersekolah".

Sesungguhnya, pergaulan tidak dapat begitu saja dipisahkan dari pekerjaan maupun sekolah. Tidak jarang seseorang memilih teman bergaul yang juga sekaligus merupakan teman sekolah atau teman kerja. Tetapi, walaupun demikian, umumnya dapat dipahami bahwa bergaul tidaklah sama dengan bekerja atau bersekolah. Nyatalah bahwa orang membutuhkan pergaulan sebagai kegiatan ekstra di luar kegiatan-kegiatan yang bersifat serius.

Kebutuhan manusia akan pergaulan, sebenarnya telah muncul sejak manusia masih sangat muda. Pada masa kecil, seorang anak bergaul dengan orang tuanya, dengan saudara-saudarnya, dan dengan teman-teman permainannya. Kadang-kadang ia juga bergaul dengan pembantu rumah tangganya, atau dengan siapa saja yang "dekat" dengannya. Dalam pergaulan ini, ia belajar tentang banyak hal. Ia belajar tentang hal-hal yang boleh ia lakukan dan tidak boleh ia lakukan. Ia juga belajar tentang hal-hal yang diharapkan orang lain dari padanya. Semua ini menunjukkan bahwa salah satu hal yang diberikan oleh pergaulan adalah: pelajaran tentang hidup bersama orang lain.

Pelajaran tentang cara hidup bersama orang lain ini terus berlangsung ketika anak menganti lingkungan pergaulan. Dari lingkungan rumah ke lingkungan di luar rumah. Ketika ia mulai bersekolah, ia bergaul dengan lebih banyak orang. Pada jam-jam istirahat di sekolah, ia bergaul dengan teman-teman sekolahnya. Dan ada kemungkinan bahwa ia akan memilih satu atau beberapa teman sekolahnya sebagai “teman-khusus”, teman dekat, atau sahabat karib. Pada mulanya, teman-khusus ini adalah teman yang sejenis. Dengan teman-khusus ini―yang tidak selalu harus merupakan teman sekolah―ia belajar lebih banyak hal lagi. Sejalan dengan perkembangan usianya, ia mungkin memiliki beberapa hal yang hanya bisa ia bicarakan dengan teman-khusus ini. Ia mungkin punya rahasia-rahasia yang hanya bisa ia ungkapkan kepada teman-khusus-nya, karena merasa kurang layak untuk ia ceritakan kepad orang tua atau saudara-saudaranya.

Dengan makin bertambahnya usia seorang anak, makin banyak kebutuhan-kebutuhannya. Ia mulai memiliki kebutuhan untuk menyayangi orang lain dan merasakan kasih sayang orang lain. Ia pun tergerak untuk mencari teman khusus yang lebih istimewa lagi. Ia mulai mencari pacar. Ia mulai mengembangkan pergaulan khusus dengan pacarnya ini. Seperti pada tiap bentuk pergaulan, pergaulan dengan pacar ini pun mengajarkan sesuatu kepada dirinya. Ia belajar hal-hal yang diharapkan oleh seorang kekasih, ia belajar tentang rasa cemburu, belajar tentang konflik antara kepentingan pacar dengan kepentingan pribadi dan belajar tentang macam-macam hal yang lain.

Kalau kemudian suatu waktu seseorang memutuskan untuk menikah, ia pun memasuki suatu lingkungan pergaulan yang lebih khusus lagi, yaitu lingkungan pergaulan suami-istri, dengan sejumlah pelajaran-pelajaran barunya. Sebagian besar dari pelajaran ini, akan sangat sulit dipahami apabila seseorang belum pernah mengikuti pelajaran dalam masa pacaran. Dan pelajaran semasa pacaran pun banyak yang sulit dipahami jika sebelumnya seseorang tidak lebih dahulu "menamatkan" pelajarannya dalam lingkungan pergaulan yang lebih dini. Hal-hal ini sebetulnya menjelaskan mengapa orang-orang yang kurang pergaulan, sering kali juga mengalami kesulitan dalam pacaran dan dalam hubungan perkawinannya.

Jadi, jika seorang ingin sukses dalam pergaulan pada tingkat tertentu, haruslah ia lebih dahulu sukses dalam pergaulan di tingkat yang lebih awal. Dalam hal ini, lingkungan pergaulan suami-istri, dapatlah disamakan dengan pendidikan di tingkat Fakultas, sementara pergaulan semasa kanak-kanak dapat dianggap sebagai Sekolah Dasarnya.



Manfaat Pergaulan

Di bagian atas, telah disebutkan bahwa fungsi utama pergaulan adalah sarana belajar tentang kehidupan bersama. Melalui pergaulan orang belajar bagaimana cara hidup bersama orang lain. Kalau pergaulan dianggap sebagai tempat belajar, tentulah harus ada yang menjadi gurunya. Ketika masih sangat kecil, dengan sendirinya orang dewasalah yang menjadi gurunya. Tetapi ketika seseorang menanjak remaja, dan pergaulan itu terjadi antara orang-orang yang seusia, siapakah gurunya?

Guru dalam suatu pergaulan adalah semua pengalaman yang terjadi di dalam pergaulan itu. Dan pengalaman yang akan terjadi, sangat tergantung pada semua pihak yang terlibat dalam pergaulan itu. Bila seorang anak kecil tidak pernah nakal, ia tidak akan belajar mengenai akibat dari kenakalannya. Kalau ia tidak pernah merengek, ia pun tidak akan merasakan dari rengekannya. Untuk mempelajari sesuatu melalui pengalaman, seseorang harus aktif mencoba melakukan sesuatu dan kemudian mempelajari akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perbuatannya.

Karena guru adalah pengalaman, dan pengalaman akan tergantung pada inisiatif pelajaran, maka pelajaranlah yang bertanggung jawab terhadap hasil belajar. Ini berarti bahwa untuk bisa memetik sebanyak mungkin pelajaran, seseorang harus berani berinisiatif, atau dengan kata lain berani mengambil resiko. Dalam pacaran, seseorang harus berani mengambil resiko untuk mengatakan, "Aku CINTA kamu". Tanpa pernah berani mengatakan hal ini, ia tidak akan pernah tahu akibat yang akan ditimbulkan oleh kata-kata bertuah ini. Seseorang yang sudah berulang kali mengucapkan kata-kata ini biasanya menjadi sangat akhli. Ia akan tahu kapan saat yang tepat untuk mengatakannya, ia tahu bagaimana cara mengatakannya, dan ia juga tahu apa yang harus ia lakukan terhadap macam-macam kemungkinan jawabannya. Ia juga belajar untuk menafsirkan berbagai reaksi yang tidak langsung dari inisiatifnya ini, misalnya: Apa artinya kalau si calon pacar diam saja, apa artinya kalau si kekasih mengatakan, "Beri saya waktu untuk berpikir," dan apa pula artinya kalau jawaban yang diterima adalah, "Kita sebaiknya berteman aja deh," dan lain-lain.

Singkatnya, untuk memetik pelajaran, seseorang harus berani mengambil resiko. Ada kalanya akibat yang ditimbulkan menyakitkan hati, tapi bagaimanapun juga resiko itu harus dijalani. Bayangkanlah saat-saat pertama seorang anak akan melangkahkah kaki. Ia takut, karena ia belum pernah. Kemudian ketika ia mencoba, ia jatuh. Sakit. Rasa sakit ini membuat ia ragu untuk mencoba kedua kalinya, tapi ia tahu bahwa kalau ia tidak mencoba, ia tidak pernah akan berhasil. Kita pun harus berbuat begitu. Mungkin pengalaman pacaran pertama sangat menyakitkan sehingga kita tidak berani mencoba untuk kedua kalinya. Tapi kalau kita mau mengambil resiko, barang kali kita kemudian―seperti anak yang lalu jadi pandai berjalan―akan menjadi ahli.



Pergaulan Yang Harmonis

Adalah kenyataan bahwa seseorang memilih teman bergaulnya. Ada kalanya kita lebih cocok bergaul dengan orang-orang tertentu dan kurang cocok dengan orang-orang lainnya. Apakah yang menyebabkan hal ini? Mengapa orang-orang tertentu biasanya dikucilkan dari pergaulan?

Untuk menjawab pertanyaan ini ada baiknya kalau kita mencoba menganalisis pengalaman pribadi masing-masing. Cobalah mengingat kembali, siapa orang-orang yang tidak kita sukai, dan cobalah menganalisis hal-hal apa dari pribadinya yang menyebabkan kita tidak suka padanya. Sering kali kita akan menemukan sejumlah sifat atau kebiasaannya yang tidak menyenangkan. Ada kalanya sifat yang tidak menyenangkan itu ternyata dapat diterima oleh orang-orang lain. Artinya hanya kita sendiri saja yang tidak menyukai sifat itu. Kalau begini, kita harus mengintropeksi diri, "Apakah sifat itu yang memang kurang baik, ataukah saya yang terlalu sensitif atau mudah tersinggung ?" Kalau banyak sekali orang yang tidak saya sukai, dan orang-orang itu ternyata bisa diterima oleh orang lain, maka berarti pada sayalah ada sesuatu yang harus diubah. Sayalah yang memiliki kekurangan, bukan orang lain.

Kesediaan bermawas diri (berintropeksi), adalah salah satu syarat utama untuk membina hubungan yang harmonis. Kita harus berani untuk melihat kekurangan yang ada pada diri kita. Kita bahkan harus berusaha menemukan kekurangan itu, walaupun orang lain, mungkin takut mengatakannya pada kita. Orang lain mungkin takut bahwa kita akan tersinggung, sehingga mereka lalu tidak mau berterus terang mengatakan hal-hal yang mereka rasakan sebagai kekurangan kita. Karena itu kita bisa harus menunjukkan kepada orang lain, bahwa kita bersedia menerima kritik mereka. Hal ini tidak cukup dilakukan dengan sekedar mengatakan, "Saya bersedia dikritik," melainkan harus ditunjukkan melalui perbuatan-perbuatan seperti: tidak mudah tersinggung, tidak terlalu cepat membela diri sebelum benar-benar memahami maksud kritik orang lain, mau mengakui kesalahan, dan sebagainya.

Persyaratan lain untuk membina hubungan yang harmonis adalah kesediaan untuk mengingatkan orang lain pada kekurangan-kekurangannya. Memang ada resiko bahwa orang itu akan tersinggung. Tapi bila kita berani mengambil resiko untuk berterus terang mengatakan hal-hal yang tidak kita sukai dari orang lain, kitalah yang akan merasakan akibatnya. Orang itu mungkin tidak tahu bahwa kita tidak menyukai "kekurangannya" dan terus saja melakukan hal-hal yang tidak kita sukai. Makin lama, kita makin tidak suka pada orang itu dan akhirnya lalu mungkin akan mulai menghindari dia. Padahal, seandainya kita berani berterus terang, bukan tidak mungkin orang itu akan berterima kasih dan bersedia mengubah dirinya. Sebaliknya, bila kita telah berterus terang dan orang yang bersangkutan kemudian tidak bersedia meninggalkan sifat-sifatnya, kita masih belum terlambat untuk kemudian meninggalkan dia.

Dalam mengingatkan orang lain pada kekurangannya, kita pun harus tetap mengingat bahwa hal yang kita anggap sebagai kekurangan orang lain, sesungguhnya lebih merupakan hal yang tidak kita sukai pada orang itu. Belum tentu hal itu benar-benar suatu kekurangan. Karena itu, dalam hal-hal tertentu kita tidak boleh menyalahkan orang lain bila ia tidak bersedia mengubah hal-hal yang tidak kita sukai itu. Kita harus belajar untuk menerima orang lain sebagaimana dia adanya. Dan tidak mendiktekan kemauan kita pada orang lain (Bukankah kita pun tidak mau kalau orang lain mendiktekan kemauannya pada diri kita ?).

Di samping itu, kita pun harus mengingat bahwa ada hal-hal tertentu yang walaupun ingin diubah oleh seseorang, tetapi memang tidak mungkin ia ubah. Ia tidak berdaya untuk mengubah hal itu. Barangkali hal itu merupakan kekurangan, tetapi kekurangan yang memang tidak dapat diperbaiki/diubah (misalnya wajah yang tidak rupawan, kecerdasan yang tidak menggembirakan, atau ukuran tubuh yang tidak normal). Mengingatkan orang lain pada kekurangan yang tidak dapat ia ubah sebetulnya hanya menyakitkan hati orang itu. Yang dapat kita lakukan hanyalah menunjukkan bahwa kita menyadari adanya kekurangan itu, tetapi kekurangan itu tidak mengurangi penghargaan kita kepadanya.

Ada kalanya, kita sangat sukar menerima "kekurangan" seseorang, tetapi kita mencoba memaksa diri untuk menerima kekurangan itu. Hal ini sesungguhnya merupakan benih yang satu waktu akan meretakkan kehormonisan pergaulan. Sebaliknya, bila kekurangan itu adalah sesuatu yang tidak mau diubah (atau tidak mungkin diubah) oleh orang yang bersangkutan, kita pun tak boleh memaksa dia untuk mengubahnya. Yang dapat kita lakukan hanyalah sekedar mengatakan, "Sayang, tapi rupanya kita tidak berjodoh."



Rangkuman

Pergaulan dapat dipandang sebagai kegiatan ekstra yang dibutuhkan seseorang di samping kegiatan-kegiatan seriusnya seperti bekerja dan bersekolah. Melalui pergaulan orang belajar untuk hidup bersama dengan orang lain. Palajaran ini sudah dimulai―secara bertahap―sejak anak masih kecil dan terus berlanjut sampai dewasa. Sebagai sumber pelajaran, pergaulan menuntut kita untuk aktif mencoba, dan mengambil resiko dalam melakukan hal-hal tertentu. Di antaranya adalah resiko untuk mengatakan pada orang lain hal-hal apa yang tidak kita sukai pada dirinya. Tetapi, di samping mengambil resiko ini, kita pun dituntut untuk berlaku realistis untuk tidak memaksa orang lain sekedar mengikuti kemauan kita, dan kita pun sebaiknya tidak memaksa diri untuk mengikuti kemauan-kemauan orang lain yang sesungguhnya bertentangan dengan keinginan kita sendiri.

Tidak ada komentar:

Arsip Blog