Senin, 20 Oktober 2008

USAHA vs KARUNIA

USAHA vs KARUNIA
Kreasi R Matindas, 1991


Masa kecil saya tidak terlalu indah. Keluarga saya sama sekali tidak bisa dibilang kaya. Akibatnya, saya sering menanggung malu karena tidak mampu membayar uang sekolah. Untung ayah saya sangat bijaksana. Ia sadar beban batin yang saya derita. Lalu... satu waktu dia datang untuk bercerita. Tentang Usaha dan Karunia.
Karunia adalah nama anak yang cerdas. Otaknya encer luar biasa. Semua penjelasan guru dengan mudah ia cerna. Tapi sayang dia pemalas. Tak pernah sudi bekerja keras. Jadi, tak usah heran. Nilai rapornya juga terbatas.
Yang bernama Usaha, nasibnya berbeda. Ia kekurangan segala-galanya. Jangankan TV atau radio, mainan dan buku pun tak ada di rumahnya. Ia juga tak sempat mendapat perhatian, sebab ayah-bundanya harus giat membanting tulang. Mudah dipahami kalau nalarnya kurang berkembang. Tapi ia punya sesuatu yang lain. Kerajinan yang luar biasa serta kegigihan untuk pantang menyerah. Sadar akan kebodohannya, dia rajin belajar. Karena itu, dia bisa juga mendapat nilai enam.
Tamat bercerita ayah bertanya, "Siapa yang sebetulnya lebih pantas dikagumi. Siapa yang layak diteladani. Usaha atau Karunia?" Saya masih terlalu kecil pada waktu itu. Saya jelas lebih suka menjadi Karunia. Dia pintar, juga kaya. Kurang apa lagi?
Ayah saya sabar dan taktis. Ia tak pernah bosan mencoba. Mengulang cerita yang sama, lalu bertanya dengan cara yang berbeda. Satu hari ia bertanya, “Mana yang bisa kamu contoh, kepandaian atau kerajinan?” Saya tak mampu menjawab. Saya memang ingin pandai. Tapi saya tahu bahwa kepandaian bukan sesuatu yang bisa dicontoh.
Lama sesudah itu, saya punya pegangan hidup. Sebuah kesimpulan yang menjadi keyakinan. Usaha harus lebih dihargai dari Karunia. Rejeki orang tidak boleh dibuat iri. Sebab, lewat rasa iri hati, kita toh tidak berubah jadi seperti yang kita cemburui.
***

Cerita tentang Karunia dan Usaha terus berlangsung dalam hidup saya. Saya jadi tahu lebih banyak tentang mereka dan belajar banyak dari kisah mereka. Berikut adalah satu di antaranya...
Lima tahun setelah mereka menikah dengan pasangan masing masing, kehidupan perkawinan mereka bagaikan bumi dengan langit. Istri Karunia tak cuma cantik. Ia juga seksi dan hangat. Kehidupan perkawinannya di dalam dan di luar kamar, sangat ideal. Dan walaupun memiliki sekretaris yang mahagenit, Karunia tidak pernah tergoda untuk menyeleweng. Dia bukannya tabah dalam iman. Dia tidak pernah perlu berjuang melawan bujukan setan.
Usaha, punya nasib yang kurang beruntung. Istri pilihannya ternyata ahli merendang-hati. Wajar saja kalau ia jadi sering makan hati. Dan diluar maunya, ia kembali berjumpa dengan Si Setan. Dialah wanita yang dulu menolak cintanya, tapi kini justru giat menggodanya. Siang malam Usaha berdoa agar bisa tetap setia. Tapi apa mau dikata jika baik istrinya, maupun Si Setan justru menyabot niat baiknya? Saya tidak pernah tahu apa akhirnya iman Usaha runtuh juga. Tapi seandainya itu terjadi, simpati saya ada untuknya.
Saya memaafkan Usaha, saya bukan membenarkan tindaknnya. Saya hanya mencoba berlaku adil dan bersikap realistis. Saya mencoba―dan untung berhasil―untuk sekedar kecewa tanpa membenci.
Banyak orang yang perbuatannya tak sesuai harapan saya. Mereka mengecewakan saya. Saya sedih ketika seorang teman mengingkari janji. Saya kecewa ketika seorang pejabat melakukan korupsi. Dan saya menangis ketika seorang paman menolak meminjamkan uang.
Tapi entah kenapa, saya bisa memaafkan mereka. Saya sadar saya cuma berhak berharap, bukan menuntut. Kegagalan mereka memenuhi harapan saya barangkali bukan karena mereka tidak berusaha. Saya terlanjur percaya bahwa tidak semua usaha membawa keberhasilan.
Pengalaman masa kecil tentang Usaha dan Karunia mengajarkan saya bahwa tidak semua orang diberkati dengan nasib baik. Kita bisa berdebat tentang nasib. Kita boleh coba percaya bahwa nasib ada ditangan kita sendiri. Tapi sekuat apa pun alasan yang diajukan orang, saya sulit melepaskan kepercayaan masa lalu. Banyak orang yang mati-matian berusaha tanpa mampu meraih cita cita.
Bisa kecewa tanpa membenci ternyata adalah karunia yang diberikan Tuhan kepada saya. Tidak semua orang bisa seperti itu. Saya tahu banyak orang yang mencoba untuk bisa seperti saya, tapi tetap saja gagal. Mereka bukan cuma membenci orang orang yang mengecewakan mereka. Lebih parah lagi, mereka bahkan membenci diri sendiri. Ketika menyadari bahwa mereka memiliki beberapa sifat buruk, mereka kecewa pada diri sendiri. Mereka tidak bisa berhenti menyalahkan diri sendiri dan akhirnya jadi membenci diri mereka.
Saya bersyukur bahwa saya tidak seperti mereka. Saya menyadari berbagai kelemahan, berbagai kekurangan dan juga sifat sifat buruk. Saya akui semua sebagai bagian dari diri saya. Saya bisa memaafkan orang lain, karena saya bisa memaafkan diri saya. Saya bukannya bangga dengan kekurangan saya. Saya cuma sekedar tidak menyangkal kenyataan. Saya ingin seperti Karunia, ... kalau bisa. Tapi kalau tidak bisa, rasanya tak perlu merasa kecil hati.

***

Cerita tentang Usaha dan Karunia saya paparkan untuk menyakinkan bahwa ada kalanya kita perlu memaafkan diri sendiri. Ini kita perlukan agar bisa menerima diri sendiri lengkap dengan kelemahan dan kekurangan. Menerima diri sendiri lengkap dengan sisi buruknya.
Jangan terlalu cepat menafsirkan istilah "memaafkan diri sendiri" secara keliru. Saya tidak bermaksud mengatakan kita boleh berbuat apa saja tanpa perlu merasa bersalah. Saya hanya mau mengingatkan bahwa kita harus berani jujur pada diri sendiri. Kita harus tetap menerima diri kita walaupun kita tidak sebaik yang kita harapkan. Pasti ada hal hal dalam diri kita yang tidak kita inginkan. Yang ingin kita ubah. Tapi tidak semua yang ingin kita ubah bisa kita ubah. Ambil contoh orang yang matanya juling. Janganlah dia menyangkal kenyataan bahwa matanya juling. Terima itu. Akui hal itu sebagi bagian dari dirinya. Jangan disesali lagi. Itu artinya memaafkan diri sendiri. Kalau kau tertarik pada seseorang, jangan sangkal hal itu kepada dirimu (kau boleh bilang tidak pada orang lain tapi jujurlah kepada diri sendiri).
Saya bilang kita boleh kecewa pada orang lain. Kita mengharapkan bahwa dia baik, setia, jujur. Nyatanya tidak. Kita boleh kecewa. Tapi perlukah kemudian membenci? Kenapa tidak melihat itu sebagai kenyataan. Kenapa membenci dan bukannya kasihan kepadanya.
Ada orang yang tidak pernah tergoda dalam hidupnyua. Beruntunglah orang-orang seperti dia, karena tidak pernah perlu berjuang untuk mengalahkan godaan. Mereka-mereka itu rejekinya baik. Ada orang lain berusaha dan gagal. Mana yang lebih pantas dikagumi.
Yang satu tidak pernah berusaha dan yang lain berusaha tapi gagal. Enak kalau kita bisa bilang, yang berusaha dan berhasil. (Yang begini sih enggak usah diomongin).
Kita tidak pernah tahu seberapa jauh seorang telah berusaha melawan perang batinnya. Kita cuma bisa melihat sejauh mana orang gagal atau berhasil. Jangan silau oleh keberhasilan orang lain, karena barangkali rejekinya memang baik. Juga jangan membenci orang-orang yang gagal berbuat baik. Jangan membenci orang yang tidak setia, bahkan jika orang itu istri atau suami sendiri. Kalau kita benar mencintai seseorang, cintailah dia lengkap dengan kekurangannya. Hanya dengan terbiasa memaafkan orang lain, kita bisa mudah memaafkan diri sendiri. Dan memaafkan diri sendiri―sungguh mati nih―adalah kemampuan yang penting untuk bisa merasa bahagia. Soalnya, sebagai seorang manusia, kita tak mungkin luput dari niat buruk. Akui adanya keinginan itu, dan berjuanglah untuk mengalahkannya. Jika gagal, cobalah memaafkan diri sendiri.

Tidak ada komentar:

Arsip Blog