Senin, 20 Oktober 2008

Aneka Penyelewengan
Oleh : R. Matindas


Aku bekerja mati-matian
Membanting tulang siang dan malam
Tapi apa yang saya dapatkan?
Seorang rekan di lemari pakaian.

Jangan salah sangka. Rangkaian kata di atas bukan syair gubahan Chairil Anwar. Semua itu adalah keluh kesah seorang suami. Suatu hari ia pulang lebih awal dari rencana. Dan di lemari pakaian, menemukan temannya yang tanpa busana. Ia, istrinya dan temannya itu, semuanya mengalami shock. Tapi sang suami―Hendarto nama samarannya―membutuhkan perawatan intensif untuk mengembalikan keseimbangan mentalnya. Hendarto sama sekali tidak bisa memahami. Istri yang begitu ia cintai ternyata tega khianat. Ia merasa telah memberikan segala-galanya bagi sang istri. Ia merasa, atau tepatnya mengira. Nyatanya, ia salah sangka. Baru setelah empat sesi konsultasi, ia sampai pada kesimpulan, "Ya, saya terlalu giat bekerja. Jadinya saya jarang di rumah. Dan ini membuka kesempatan bagi istri saya... Tapi... saya tetap tidak mengerti, mengapa ia memanfaatkan kesempatan itu. Mengapa?”
Hendarto masih membutuhkan tambahan dua kali konsultasi sebelum sampai pada kesimpulan berikutnya, "Sekarang saya mengerti, saya telah mengabaikan kebutuhan dia. Saya hanya bergumul dengan persoalan kantor, dan,"―di sini ia tersenyum getir―"Saya jarang berugumul dengan dia. Mau bilang apa lagi?"
"Anda bisa memaafkan dia?" tanya konselor yang merawatnya.
"Dia, siapa dia? Istri atau teman saya?"
"Istri Anda.”
"Bagaimana ya.... saya kira saya memaafkan dia. Rasanya saya tetap mencintai dia dan mendoakan agar dia bahagia. Tapi.... sulit bagi saya untuk tetap menjadi suaminya. Bukankah orang yang kita cintai tidak selalu harus jadi istri kita? Dan saya pun yakin bahwa cinta tidak cukup untuk menjadi satu-satunya faktor yang memelihara keutuhan perkawinan.”

*****

Tiga tahun kemudian, Hendarto kembali datang menemui konselornya. Kali ini bersama seorang perempuan yang ia perkenalkan sebagai calon istri barunya. "Saya punya niat untuk kawin lagi. Saya tidak mau pengalaman lama terulang kembali. Barangkali Anda bisa memberikan beberapa saran untuk saya,” begitu ia memulai pembicaraan dengan konselornya.
"Oh, begitu,” sahut Si Konselor. "Tapi, terus terang saya bukan tipe orang yang suka memberi nasihat. Begini saja. Saya akan menceritakan berbagai kasus penyelewengan yang pernah saya tangani. Cobalah Anda simpulkan mengapa hal itu terjadi, dan apa yang harusnya dilakukan untuk mencegahnya."
"Saya pikir ide itu cukup menarik."
"Bagus. Kalau begitu setiap minggu akan saya ceritakan satu kasus―tidak dengan nama sebenarnya―dan kemudian kita diskusikan kasus itu."

*****

KASUS PERTAMA: NARLITA, Perempuan Virgo
Narlita berusia 23 tahun ketika menikah dengan Affandi, seorang kepala bagian pemasaran dari perusahaan farmasi. Pada waktu menikah ia telah hamil dua bulan, dan segera setelah menikah ia sering bertengkar dengan suaminya. Pasalnya selalu berkaitan dengan kecemburuan Narlita kepada para pramuniaga perempuan yang dinilainya terlalu intim dengan suaminya. Tapi pertengkaran itu rupanya hanya bumbu perkawinan yang menambah harmonisnya hubungan mereka. Di kantornya, Narlita kerja di sebuah biro iklan, ia sangat sering membanggakan suaminya pada rekan-rekan kerjanya, dan sama sekali tidak menggubris godaan-godaan atasannya. Ia boleh dikatakan merupakan kembang di kantornya, dan tidak jarang mendapat tawaran menemani atasannya untuk makan siang bersama di luar kota. Dengan halus Narlita selalu menampik tawaran-tawaran seperti itu.
Enam tahun setelah pernikahannya, Affandi dipromosikan untuk menjadi kepala cabang di kota lain. Terpaksa Narlita meninggalkan pekerjaan dan pindah mengikuti suaminya. Di kota baru ini Affandi sangat sering meminta Narlita mendampinginya dalam berbagai acara jamuan makan malam untuk para relasinya. Kesibukan kantornya membuat Affandi jarang sempat bergenit-genit dengan perempuannya dan Narlita segera merasakan ia tidak perlu lagi terlalu menguatirkan suaminya.
Justru pada saat itu, di kompleks kediaman mereka, datang seorang penghuni baru. Seorang duda berusia 35 tahun. Orangnya ganteng dan segera menjadi "rebutan" para perempuan di kompleks perumahan itu. Singkatnya cerita, karena sering mengawasi anaknya―yang merupakan sahabat anak sang duda―Narlita akhirnya diketahui punya hubungan intim dengan sang Duda.

Analisis Hendarto
Saya berani bertaruh bahwa dulunya Affandi adalah pria yang banyak penggemarnya. Ini yang menarik Narlita. Narlita itu orang yang senang untuk bersaing dan mendapatkan kepuasan justru kalau berhasil menang dalam persaingan. Selama Affandi masih bergenit dengan para pramuniaganya, Affandi masih punya nilai lebih bagi Narlita. Di samping itu, di kota lama Narlita sempat menikmati kebanggaan sebagai kembang di kantornya. Di kota yang baru, Narlita kehilangan suasana bersaing. Lebih-lebih lagi suaminya sudah menunjukkan gejala-gejala orang yang setia. Tidak ada lagi pramuniaga yang patut dicemburui. Tidak ada lagi musuh-musuh yang harus dikalahkan. Narlita ibarat Muhamad Ali yang kehilangan lawan tangguh. Dalam keadaan seperti itu Muhamad Ali merasa perlu membuat sensasi dengan bertarung melawan Antonio Inoki. Dan Narlita pun merasa perlu bertarung melawan tetangga-tetangganya yang masih gadis, untuk memperebutkan duda yang menawan itu. Tentang bintang kelahirannya yang Virgo itu, saya kira bukan data yang relevan. Apa pun bintang kelahirannya, setiap perempuan punya potensi untuk menyeleweng.

KASUS KEDUA: PRIYANTI
Priyanti merupakan anak sulung dari keluarga dengan lima anak. Ketika ia berusia 18 tahun, ayahnya meninggal dunia. Sejak itu perannya dalam keluarga bertambah besar. Ia harus mengawasi adik-adiknya yang justru sedang remaja dan susah diatur. Nasihat-nasihat yang ia berikan, jarang didengar. Dalam kondisi seperti itu, ia melanjutkan kuliah di IKIP dan selama menjadi mahasiswi ia aktif di senat. Setelah tamat, ia menikah dengan Bermawi. bekas teman kuliahnya yang sering ia bantu dalam berbagai kesulitan akademis. Bermawi memang bukan orang yang cerdas, tapi toh dia orang yang tegas. Dalam kehidupan rumah tangga, Bermawi sering ikut campur tangan dalam hal-hal yang menurut Priyanti merupakan wewenang “ratu rumah tangga”. Bermawi ikut mengatur bagaimana seharusnya letak kursi tamu, ikut mengusulkan warna gorden, dan seringkali bahkan menentukan menu makanan.
Perkawinan Priyanti dan Bermawi bertahan selama tiga tahun. Pada tahun ketiga, Priyanti diketahui punya hubungan dengan Baskoro, seorang adik kelas yang mengambil les-privat pada Priyanti. Baskoro adalah seorang pemuda yang pemalu, kurang berinisiatif, dan tergolong submisif. Hubungannya dengan Priyanti ternyata kemudian berlanjut ke hubungan suami-istri; setelah diceraikan oleh Bermawi, Priyanti mengambil keputusan untuk menikah dengan Baskoro, begitu Baskoro lulus. Ternyata perkawinan Priyanti dan Baskoro―yang tiga tahun lebih muda―berlangsung langgeng hingga kini.

Analisis Hendarto
Dalam pandangan saya, Priyanti bukanlah tipe perempuan yang mudah nyeleweng. Hanya kebetulan ia tidak cocok dengan Bermawi. Ia adalah orang yang ingin berkuasa, sementara Bermawi justru bukan orang yang mau dikuasai. Bahwa mereka berdua bisa saling jatuh cinta dan menikah, saya kira karena hubungan mereka semasa mahasiswa. Priyanti menyenangi Bermawi karena Bermawi sering menerima bantuannya dalam belajar. Khusus dalam bidang ini, Priyanti dapat menguasai Bermawi, yang barangkali memang kurang cerdas. Tetapi segera setelah mereka menikah, Bermawi sudah tidak dapat diatur lagi, dan mulailah Priyanti menemukan ketidakpuasan. Secara kebetulan ada Baskoro yang pemalu, submisif, dan mudah diatur. Priyanti jadi menyenangi Baskoro. Saya kira keluarga Baskoro pasti tidak menyetujui perkawinannya dengan Priyanti, tapi di sini membuktikan bagaimana Priyanti bisa menguasai Baskoro, sampai-sampai Baskoro berani menentang keluarganya. Satu-satunya hal yang belum jelas bagi saya adalah mengapa Priyanti tidak lebih dulu menceraikan suaminya sebelum lebih jauh dengan Baskoro. Tapi bisa juga ia memang tidak punya alasan untuk bercerai. Atau mungkin Bermawi tidak mau menceraikannya, sampai akhirnya ia sadar telah dikhianati.

KASUS KETIGA : YULI ISTIANI, Sekretaris Yang Terpaksa Menyeleweng
Yuli pertama kali merasakan ciuman ketika usianya 17 tahun. Hari itu ia merayakan ulang tahunnya, dengan mengundang teman-teman sekolahnya. Sebagian besar tamunya adalah sepasang merpati, sementara Yuli sendiri terkenal sebagai gadis cantik yang tidak punya pacar. Sebetulnya tidak sedikit pria yang menaruh hati pada Yuli, tetapi ia sendiri sepertinya takut berpacaran. Barangkali karena ayahnya agak galak dan ibunya terlalu khawatir kalau-kalau Yuli jadi korban pergaulan yang bebas. Ke manapun Yuli pergi, ia harus ditemani oleh salah seorang adiknya, dan sialnya, semua adik Yuli adalah laki-laki yang kurang memahami kebutuhan kakaknya. Tidak jarang Yuli melamun di waktu malam dan mengkhayalkan bahwa ia punya kekasih yang benar-benar mencintainya.
Pada malam ulang tahunnya itu, Yuli dikejutkan dengan munculnya Ardi, teman lelaki yang dibencinya karena seringkali menggodanya di sekolah. Ardi sering menyombongkan diri di antara teman-teman, bahwa dialah laki-laki yang dicintai Yuli. Walaupun hampir tidak ada yang percaya, Ardi pun pernah sesumbar mengatakan bahwa ia pernah mencium Yuli. Yuli sengaja tidak mengundang Ardi, agar teman-temannya melihat sendiri bahwa ia dan Ardi tidak ada hubungan apa-apa. Tetapi Ardi datang juga, dan Yuli tidak punya keberanian untuk mengusir Ardi. Kemudian terjadilah peristiwa yang memalukan itu. Sambil menyalami Yuli, Ardi mengucapkan beberapa kata yang sama sekali tidak dipahami Yuli. Ketika ia bertanya, Ardi justru mengecilkan volume suaranya. Yuli semakin penasaran dan Ardi sepertinya ingin membisikan suatu rahasia yang tidak boleh didengar teman-teman Yuli yang lain. Tanpa sadar Yuli mendekatkan kupingnya ke mulut Ardi dan pada saat itulah, dengan kecepatan luar biasa bibir Ardi memagut mulutnya. Semua ini terjadi dengan disaksikan oleh belasan pasangan mata teman-teman Yuli. Yuli tersentak dan untuk beberapa detik tidak dapat berkata-kata. Justru pada saat itu ibunya masuk ke dalam ruangan, dan Ardi segera melepaskan tangan Yuli untuk memberikan selamat kepada ibu Yuli. Kesempatan Yuli untuk memarahi Ardi telah hilang dan sepanjang malam itu Yuli merasa serba salah. Dan ketika para tamu telah pulang, Yuli merenung sendiri di kamarnya. Bencikah dia? Senangkah dia? Dia sendiri pun tidak tahu.
Lima belas tahun kemudian, Yuli kembali bertemu dengan Ardi, lelaki yang selama ini tidak pernah sudi ia sapa. Pada waktu itu, Yuli yang telah dikaruniai dua orang anak, melamar untuk menjadi sekretaris di suatu perusahaan. Dan Ardi adalah satu-satunya kepala bagian di kantor itu. Setelah enam bulan bekerja, Yuli ditempatkan sebagai pembantu Ardi dan semenjak itu ia seringkali harus bekerja lebih lama dari biasanya. Demi menghidupi keluarganya yang mengalami kesulitan ekonomi karena suaminya di-PHK, Yuli terpaksa tidak berani menolak permintaan Ardi. Hubungan rahasia mereka berlangsung terus-menerus dan akhirnya Yuli tidak sanggup menahan beban rasa bersalah dan mengungkapkan rahasia ini kepada seorang penasihat perkawinan.

Analisis Hendarto
Terus terang kasus ini sangat sulit. Saya tidak tahu persis bagaimana kehidupan kejiwaan Yuli. Boleh jadi sebetulnya ia senang pada Ardi. Atau mungkin dengan melayani dia jadi bisa merasa "berkorban" untuk kepentingan keluarganya. Jadi dengan terpaksa melayani Ardi, ia memuaskan dua kebutuhannya. Di satu pihak ia menikmati hubungan itu― tanpa perlu merasa bersalah karena toh ia terpaksa―dan dilain pihak ia memuaskan kebutuhan untuk menyiksa diri demi orang lain. Tapi, sekali lagi, terus terang saya tidak begitu yakin dengan analisis saya ini.

KASUS KEEMPAT: LIE FAN NIO, Dengan Empat Pacarnya
Lie Fan Nio sudah berpacaran sejak duduk di bangku SMP. Empat tahun yang lalu, pada usia 22 tahun dia menikah dengan seorang dokter dan eman bulan kemudian dia telah menjalin hubungan intim dengan bekas teman mainnya semasa kecil. Hubungan mereka memang tidak terlalu sering, karena teman mainnya ia tidak tinggal sekota. Tetapi hubungan mereka tetap berlanjut sampai kini, dan sementara itu Fan Nio sempat pula berhubungan dengan tiga pria lain. Yang pertama adalah guru anaknya, yang kedua dokter gigi keluarganya dan yang ketiga adalah seorang tetangganya. Fan Nio sangat pandai merahasiakan hubungan ini terhadap suaminya, sehingga hubungan mereka sebagai suami-istri tetap berlangsung dengan baik. Cerita Fan Nio baru terbongkar setelah ia ribut dengan pembantu rumah tangganya. Rupanya pembantu rumah tangga ini mengetahui semua rahasia Fan Nio dan menggunakannya untuk memeras sang Majikan. Karena merasa terlalu banyak diperas, Fan Nio berusaha untuk menghindar dari pembantunya dan membujuk suaminya untuk pindah rumah ke kawasan perumahan yang baru tanpa membawa pembantu ini. Karena satu dan lain sebab, rahasia itu akhirnya terbongkar dan saat ini suami Fan Nio sedang dalam tahap konsultasi untuk menceraikan istrinya.

Analisis Hendarto
Kasus Fan Nio ini pastilah satu dari seribu. Saya menganggapnya sebagai orang yang memang punya bakat untuk menyeleweng. Tidak perduli siapapun suaminya, Fan Nio pasti tidak akan puas. Mudah-mudahan saja tidak banyak perempuan yang berperangai seperti Fan Nio ini. Kalau tidak, kita terpaksa membelikan celana besi untuk mereka.

KEBUTUHAN, KESEMPATAN DAN IMAN
Pada kunjungan yang kelima, Hendarto tidak lagi mendengarkan cerita konselornya. Sang Konselor menganggap Hendarto harusnya sudah mampu menarik suatu kesimpulan umum dari keempat kasus yang didengarnya.
"Kasus penyelewengan tidak akan habis-habisnya," begitu Sang Konselor memulai pembicaraannya. Kemudian ia melanjutkan, "Tetapi semua kasus itu berpangkal pada prinsip umum yang sama. Bisakah Anda sekarang memberi pandangan menyeluruh tentang sebab penyelewengan para istri?"
"Mudah-mudahan saya bisa. Saya kira semua penyelewengan berpangkal pada adanya kebutuhan yang tidak terpenuhi. Kebutuhan itu bisa berwujud kebutuhan seks yang murni, tetapi bisa juga kebutuhan-kebutuhan yang lain. Penyelewengan Narlita harus dilihat sebagai usaha untuk memuaskan kebutuhannya untuk bersaing dan memenangkan orang lain. Priyanti tidak bahagia karena suaminya tidak bisa ia kuasai, sementara Fan Nio saya kira memang seorang sex maniac, di samping mungkin orang yang senang bertualang. Mengenai penyelewengan istri saya sendiri, saya sekarang punya dugaan yang lain. Selain karena sering saya tinggal kerja, istri saya mungkin kurang puas dalam hubungan dengan saya karena saya sering menolak ajakannya untuk "beraneh-aneh" dalam hubungan kami. Mungkin Anda perlu tahu bahwa istri saya punya hobi untuk mencoba macam-macam hal baru. Ia sering mencoba masakan-masakan baru walaupun tidak enak, sering berpakaian yang aneh-aneh, dan juga punya ide yang ajaib-ajaib. Nah, kesukaan untuk bereksperimen ini, terbawa juga ke atas ranjang. Hampir sebulan sekali dia punya ide untuk mencoba "cara baru.” Saya, rasa kesukaannya bereksperimen ini tidak tersalurkan dalam hubungannya dengan saya. Lalu, ada faktor pertama untuk penyelewengan : "kebutuhan yang tidak terpuaskan."
"Anda menyebutkan kebutuhan sebagai faktor pertama yang mendorong penyelewengan,” sela konselornya, "masih ada faktor lainnya?"
"Ya, tentu saja. Faktor yang kedua adalah kesempatan. Tanpa adanya kesempatan orang tidak mungkin menyeleweng. Kesempatan ini kadang-kadang sengaja dicari, kalau kebutuhan itu sangat mendesak. Tapi umumnya, justru adanya kesempatanlah yang membakar kebutuhan yang mungkin berusaha ditekan. Bagi Narlita, pindahnya ke kota baru dan berhenti bekerja, memperbesar kesempatan untuk tidak setia. Tentang Priyanti, adanya adik kelas yang mengambil les-privat mengobarkan kebutuhannya. Kasus Yuli terjadinya secara kebetulan sekali, tapi itupun suatu kesempatan, sementara tentang Fan Nio saya tidak mau banyak komentar. Rasanya ngeri bila saya membayangkan dia."
"Masih ada faktor lain yang mendorong penyelewengan?"
"Barangkali masih ada, tetapi saya justru membayangkan faktor yang menghambat penyelewengan yaitu "iman.” Dalam hal ini, pengertian iman, harus dipandang dalam pemahaman yang luas. Iman bukan hanya moral atau ketakutan berbuat dosa. Iman adalah juga ketakutan untuk melanggar norma masyarakat. Ketakutan untuk mendapatkan nama jelek. Singkatnya, saya menafsirkan iman sebagai kekhawatiran menanggung resiko. Sekali saja seorang berani memikul resiko yang bakal ia hadapi, tidak ada lagi rem untuk mencegah penyelewengan. Selama masih ada iman masih mungkin mencegah. Sayangnya, hanya imanlah satu-satunya faktor pencegah sementara sekurang-kurangnya ada dua faktor yang mendorong. Satu dikeroyok dua... berat juga ya."

Tidak ada komentar:

Arsip Blog