Berzina vs Melacur
Klien saya seorang perempuan. Namanya tak boleh disebutkan. Ia mengaku disuruh agamanya untuk melacur. Jelas saya tidak percaya.
Makanya dia menjelaskan, "Ajaran agama mengharuskan saya tetap melayani Suami, walaupun sesungguhnya batin saya tersiksa. Saya sudah kehilangan cinta kepadanya. Setiap kali melayaninya, saya merasa jijik. Tapi saya takut berdosa kalau menolak memberinya nafkah batin. Selain itu, saya juga takut diceraikan. Jujur saja, saya butuh uangnya untuk membiayai perawatan ibu saya. Kalau saya bercerai dari dia, saya pasti jadi pelacur jalanan, karena saya tidak punya keahlian untuk bekerja.”
Setelah menarik napas ia melanjutkan, "Satu-satunya hiburan saya hanyalah perasaan bahwa saya tidak berzina. Kegiatan seks saya direstui agama, walaupun tidak membawa kebahagiaan. Sebaliknya, zina adalah melakukan hubungan seks dengan seorang yang bukan suami. Tapi perempuan bisa melacur kepada suaminya. Soalnya, melacur adalah melakukan sesuatu yang sebetulnya tidak dinikmati. Melacur adalah melakukan perbuatan demi mendapatkan uang, bukan demi mendapatkan kenikmatan seksual. Setiap perempuan yang batinnya tersiksa waktu melayani laki-laki, tetapi tetap melakukannya demi uang, adalah pelacur. Dan itulah yang sering saya lakukan sekarang."
Tidak mudah mencarikan jalan keluar bagi perempuan ini. Ia hidup dengan keyakinan bahwa ia tak beda dari pelacur, menjual tubuhnya demi mendapatkan uang. Dan memang itulah inti dari pelacuran. Pelacuran pada hakikatnya adalah melakukan kegiatan yang mendatangkan siksa batin, sekedar demi kelangsungan hidup badaniah. Melacur, bahkan kadang-kadang dapat dilakukan tanpa perlu melakukan hubungan seks, seperti pengalaman klien saya yang lain.
Klien yang ini kebetulan seorang laki-laki. Dia seorang peneliti, yang sering dipaksa memalsu kesimpulan. "Demi uang dan kelangsungan karir saya. Saya terpaksa melakukan hal itu, walaupun sebetulnya batin saya tersiksa. Saya sebetulnya tidak banyak berbeda dengan para WTS yang menjual tubuhnya. Bahkan saya lebih parah, saya menjual jiwa saya. Demi keselamatan saya, saya takut mengungkapkan kebenaran. Hakikatnya saya ini seorang pelacur. Cuma bedanya saya tidak berzina.”
Masalah berzina dan melacur rupanya memang tidak sederhana. Klien saya yang ketiga lain lagi argumennya. Ia akui dirinya berzina, tapi ia tidak merasa melacur, apa lagi berdosa. "Saya dibilang berzina karena mengadakan hubungan seks dengan seseorang yang menurut anggapan umum tidak boleh saya layani,” katanya sambil tersenyum. Kemudian dia melanjutkan: "Tapi, sebetulnya saya memang bukan melayani dia. Saya menikmati dia. Lebih tepatnya, kami saling melayani dan menikmati.”
"Anda tidak merasa berdosa melakukan zina?" tanya saya.
"Tidak,” jawabnya tegas. "Saya lebih merasa berdosa jika melacur. Pada waktu melacur, orang merusak jiwanya karena melakukan hal yang bertentangan dengan nuraninya. Mereka kerjakan hal yang menjijikkan demi tetap bisa menghidupi badannya. Kelihatannya saja mereka menjual tubuh demi nyawa. Nyatanya, mereka merusak jiwa demi kehidupan badaniah.”
Dengan penuh semangat ia kemudian melanjutkan, "Contoh pelacur bukan hanya perempuan tuna susila, melainkan juga para hakim yang membuat putusan yang bertentangan dengan nurani demi bisa kaya-raya. Juga para wartawan yang memutar balik fakta demi uang, kedudukan, dan hal yang bersifat kebendaan. Itu pelacuran. Itu yang dosa. Yang saya lakukan justru sebaliknya. Saya memuaskan jiwa saya.“
Klien saya yang nomor empat punya keyakinan yang jauh bertolak belakang dengan kedua klien lainnya. Dia menolak disebut pelacur, walaupun dia jelas-jelas melayani laki-laki yang bukan suaminya untuk mendapatkan bayaran. Dia berdalih seperti ini, "Saya memang dibayar, tapi uang bukan tujuan saya. Para pelacur mencari uang untuk menikmati hidup yang glamour. Saya tidak. Cita-cita saya luhur. Saya mengorbankan diri demi perjuangan mulia. Saya hanya melayani laki-laki tertentu demi memperoleh informasi bagi perjuangan kelompok kami. Di zaman perang kemerdekaan, banyak orang mengorbankan nyawa mereka demi perjuangan. Mereka adalah pejuang. Seharusnya begitu pula para perempuan yang rela mengorbankan tubuhnya demi perjuangan. Sebetulnya para perempuan ini lebih mulia, karena mereka tidak hanya mengorbankan tubuh dan nyawa, mereka mengorbankan jiwa mereka."
Setelah diam sejenak dia melanjutkan, "Saya tidak setuju kalau semua perempuan yang melayani laki-laki tanpa menikmati hubungan itu dicap sebagai pelacur. Yang harus kita lihat adalah niat di balik kesediaan menyenangkan orang lain. Jika itu kita lakukan hanya demi keselamatan atau kesenangan pribadi, bolehlah kita disebut pelacur. Tapi jika kita melakukan itu demi kepentingan orang lain, sebetulnya kita berkorban. Kita adalah pahlawan.” Dia menutup penjelasannya dengan mengepalkan tangan sambil berucap, "Kami menjalankan misi mulia!"
Karena dia terlalu berapi-api, saya mencoba menggoyahkan keyakinanannya dengan sebuah pertanyaan, "Tapi, apakah Anda tidak merasa telah berzina? Bukankah zina dilarang oleh agama.”
Dia tampak bimbang sejenak, tapi lalu kembali tegar. "Itulah soalnya. Kebanyakan orang menafsirkan ajaran agama secara sempit, secara harafiah dan menurut keinginannya sendiri. Inti larangan berzina bukanlah larangan melakukan hubungan seks, melainkan larangan untuk menikmati sesuatu yang bukan hak kita. Zina membawa kenikmatan yang tidak halal. Sementara melacur, walaupun tidak memberi kenikmatan pada saat melakukan kegiatannya, tapi dilakukan demi mengejar kenikmatan yang lain. Orang yang diperkosa, juga melakukan hubungan seks, secara terpaksa. Mereka tidak menikmati, karena itu mereka tidak bisa dibilang berzina. Mereka juga tidak bisa disebut melacur karena mereka tidak menerima bayaran. Saya tidak berzina karena saya tidak menikmati hubungan seks yang saya lakukan. Saya tidak melacur karena saya juga tidak melakukan hubungan seks yang tidak saya nikmati demi mendapat bayaran untuk kesenangan pribadi. Sekali lagi, saya ini berkorban.”
Saya tidak berani menghakimi kebenaran jalan pikiran para klien saya. Yang jelas, mereka semuanya pasien, orang-orang yang membutuhkan terapi. Apakah Anda berminat membantu?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar