Senin, 20 Oktober 2008

SEKS PSIKOLOGIS

SEKS BIOLOGIS vs SEKS PSIKOLOGIS
Kreasi R. Matindas

Di ruang 703 Hotel Sari Pasifik, empat orang sahabat duduk berdiskusi dengan santai.

RESI: Menurut pendapat saya, seks bukan sekedar kebutuhan biologis. Karena kalau seks hanya kebutuhan biologis, maka setiap dorongan seks akan dapat dipuaskan hanya melalui aktivitas biologis. Artinya, hanya dengan melakukan masturbasi saja, semua kebutuhan seks akan terpenuhi. Nyatanya tidak demikian.

RAPKA: Saya kira saya setuju dengan pandangan itu. Pada kenyataannya orang memerlukan partner untuk melakukan “humistri” (hubungan suami-istri), walaupun partner itu tidak selalu harus suami atau istri sendiri.

WASIS: Saya punya pengalaman bahwa keinginan untuk melakukan humistri baru timbul setelah seseorang punya pengalaman pertama dalam berhumistri. Atau paling tidak setelah ia pernah tahu tentang adanya aktivitas humistri. Mungkin setelah membaca buku porno atau setelah menonton blue film. Sebelum tahu tentang humistri, saya kira orang cukup puas dengan melakukan masturbasi. Ini menunjukkan bahwa seks adalah dorongan biologis.

RAPKA: Kamu keliru. Kamu jangan lupa bahwa masturbasi tidak pernah memberikan kepuasan bila tidak dibumbui dengan fantasi. Adanya fantasi menunjukkan bahwa ada kebutuhan lain yang ingin dipuaskan. Dan kebutuhan yang dipuaskan melalui fantasi pasti bukan kebutuhan biologis.

DURMI: Tapi pada kenyatannya, orang juga tidak pernah bisa puas hanya dengan sekedar berfantasi. Orang toh perlu melakukan aktivitas fisik. Jadi saya sependapat dengan Wasis. Pada dasarnya seks adalah kebutuhan biologis.

RESI : Saya kira kita harus memandang seks sebagai perpaduan antara kebutuhan biologis dan kebutuhan non biologis. Orang tidak mendapatkan kepuasan hanya dengan melakukan fantasi seksual, tetapi juga tidak akan puas kalau melalukan masturbasi tanpa bumbu fantasi...

WASIS: Saya belum yakin. Pada waktu kecil, saya tidak pernah melakukan masturbasi. Juga tidak pada waktu saya remaja. Tapi saya berkali-kali mengalami mimpi basah. Saya menganggap bahwa mimpi seperti itu adalah cara alam dalam membantu manusia meredakan ketegangan biologisnya. Jadi sekali lagi, seks adalah kebutuhan biologis. Kebutuhan yang timbul karena adanya ketegangan biologis.

RESI: Nanti dulu, saya tadi belum selesai bicara kamu sudah potong.

WASIS: Sorry, Bos. Silakan lanjutkan.

RESI: Tadi saya bilang bahwa seks adalah perpaduan antara kebutuhan biologis dan kebutuhan non biologis. Ada kalanya kebutuhan biologisnya yang lebih menonjol, dan ada kalanya kebutuhan psikologisnya yang lebih mendesak. Kamu tadi ngomong soal mimpi. Kamu jangan lupa bahwa pada dasarnya mimpi adalah mekanisme bawah sadar yang berfungsi meredakan ketegangan psikologis. Bukan meredakan ketegangan biologis.

DURMI: Tidak betul, Bos. Mimpi berfungsi untuk meredakan ketegangan biologis juga. Kalau saya sangat lapar, saya mimpi makan. Pada waktu saya nahan kencing, saya sering mimpi bahwa saya kencing. Kencing kan bukan kebutuhan psikologis? Yes or yes?

RAPKA: Biar saya yang mewakili Bos. Yes, you're dammed right. But, you're not going to say that mimpi hanya berfungsi untuk meredakan ketegangan biologis saja kan. Are you?

WASIS: Sorry, friend. Kamus bahasa Inggris gue ketinggalan di rumahnya Meriam Belinda. So would please menggunakan bahasa Indonesia saja? Kita jangan mempersulit notulen.

RAPKA: Oke. Gue, eh, saya... mau bilang bahwa mimpi tidaklah sekedar berfungsi untuk meredakan ketegangan yang bersifat biologis. Pada waktu kecil saya sering bermimpi menjadi anak orang kaya. Saya kira sebagai anak orang miskin, saya punya kebutuhan untuk merasa kaya. Dan kebutuhan itu pasti bukan kebutuhan biologis. Iya kan?

RESI: Bisa iya, bisa juga tidak. Begini. Kalau kita nonton film horor, kita biasanya jadi takut, ngeri. Artinya kan kita lalu punya kebutuhan untuk merasa aman. Tapi anehnya, mimpi kita biasanya justru mimpi yang serem-serem. Mimpi itu membuat kita jadi lebih takut... .... dan takut itu... ...

WASIS: Boleh dipotong Bos? Soalnya diamnya kelamaan sih. Saya pikir sebaiknya kita tidak terlalu mempersoalkan mimpi. Kita kan maunya diskusi seks.

RESI: Nanti dulu, Sis... Saya kira kita tetap perlu menganalisis soal mimpi ini. Kita tahu bahwa mimpi basah itu berperan untuk meredakan ketegangan biologis yang disebabkan menumpuknya dorongan seksual. Dalam hal ini, mimpi tampaknya memang suatu mekanisme untuk meredakan ketegangan. Tapi kenapa kalau kita takut, kita bukannya mimpi yang indah-indah... Kita justru mimpi yang meningkatkan ketakutan itu?

RAPKA: Sebetulnya tidak aneh kan? Pada waktu kita sangat membutuhkan pelampiasan seks kita juga tidak mimpi tentang hal-hal yang anti seks. Kita kan tidak mimpi jadi orang alim. Kita justru mimpi tentang seks. Mimpi itu memacu, atau meningkatkan ketegangan seks. Kita justru memacu rasa takut itu untuk mencapai klimaks. Jangan lupa bahwa pada akhir mimpi, kita justru terhindar dari hal-hal yang mengerikan itu. Pada waktu terhindar itulah terjadi perbedaan dari ketegangan yang ditimbulkan oleh rasa takut itu.

DURMI: Dan pada waktu pengen kencing, kita juga tidak bermimpi tentang yang sebaliknya dari keinginan itu. Kita justru bermimpi tentang sesuatu yang bersifat melanjutkan keinginan itu. Dan lalu kita bangun untuk kencing, atau kita ngompol. Tapi dua-duanya bersifat mengakhiri ketegangan yang timbul oleh keinginan kencing.

RESI: Saya tahu sekarang. Fungsi mimpi adalah melanjutkan ketegangan yang ada sehingga tercapai kondisi klimaks. Lalu terjadi peredaan. Peredaan ini bisa karena secara sadar kita bertindak, atau secara tidak sadar―maksud saya di dalam mimpi itu. Tapi dalam hal ini barangkali lebih baik kita tidak mengatakan ingin kencing. Karena sebetulnya kita tidak ingin kencing. Kita terangsang untuk kencing. Kita kan juga tidak ingin takut, kita terangsang untuk takut. Sebetulnya yang kita inginkan adalah rasa aman.

DURMI: Bisa diterima. Masuk akal. Gimana, Sis?

WASIS: Ya... tidak keberatan.

RAPKA: Mungkin lebih tepat untuk mengatakan bahwa mimpi berfungsi untuk menyadarkan seseorang pada hal-hal yang di-repress-nya. Atau paling tidak hal yang ia coba untuk repress. Saya lapar, tapi saya pura-pura tidak lapar. Saya pergi tidur. Dalam tidur, mimpi menyadarkan saya bahwa saya lapar. Mimpi menyadarkan saya bahwa saya punya dorongan untuk kencing. Mimpi menyadarkan saya bahwa saya takut. Mimpi menyadarkan bahwa saya punya dorongan seks.

RESI: Jadi mimpi hanya menyadarkan, tidak meredakan.

RAPKA: Ya, mimpi tidak otomatis meredakan.

WASIS: Lha, mimpi basah itu apa tidak meredakan?

RAPKA: Mimpinya tidak. Basahnya ya, iya. Kamu jangan lupa bahwa pada waktu mimpi basah itu, orang juga melakukan gerakan-gerakan tertentu yang menyebabkan terjadinya perangsangan pada organ seks. Perangsangan inilah yang kemudian mengakibatkan kebasahan itu.

RESI: Dia betul. Waktu saya tinggal di asrama dulu, saya sering menyaksikan teman saya bermimpi demikian. Satu waktu dia memeluk guling dan bertingkah laku seolah-olah sedang memperkosa guling itu. Lain waktu dia tidur tengkurap dan seolah-olah sedang memperkosa kasur. Saya kira gerakan tubuhnya itu mengakibatkan adanya perangsangan fisik terhadap organ seksnya sehingga sebetulnya tanpa sadar ia sedang melakukan masturbasi.

WASIS: Semua ini menunjukkan bahwa seks adalah kebutuhan biologis.

RAPKA: Bahwa yang dirangsang adalah organ biologis itu―memang benar. Tapi, perangsangan biologis itu kan disertai dengan bumbu fantasi. Apa kamu bisa masturbasi tanpa fantasi?

RESI: Bisa lho, 'Ka. Memang bukan masturbasi murni. Maksud saya bukan kamu sendiri bermasturbasi. Tapi kalau kamu sudah lama sekali tidak bermasturbasi dan kemudian secara paksa kamu digerayangi orang homo, pasti kamu mencapai klimaks. Saya pernah menyaksikan suatu cara bercanda yang agak kasar dari sekumpulan anak-anak “kolong”. Mereka ramai-ramai memegang seorang temannya, temannya ini lalu diterlentangkan. Kemudian salah satu dari mereka lalu melakukan "pemerkosaan" dengan cara menggesek-gesekan telapak kakinya. Anak yang diperkosa berontak mati-matian. Dia pasti tidak sempat berfantasi. Tapi pada akhirnya celananya toh basah juga.

RAPKA: Jadi anak itu puas? Jadi kamu mau bilang bahwa perempuan yang diperkosa juga akan puas?

RESI: Terus terang saya tidak tahu. Barangkali dia tidak puas, tapi yang pasti ada peredaan dari ketegangan biologisnya. Jangan lupa bahwa saya tidak menganggap seks sebagai semata-mata kebutuhan biologis. Secara psikologis barangkali dia tidak puas. Tapi secara biologis dia mengalami peredaan ketegangan.

RAPKA: Saya tetap tidak yakin bahwa kalau sekarang kalian bertiga ramai-ramai memperkosa saya, saya bakal mendapat klimaks.

RESI: Saya juga tidak yakin. Jangan lupa cerita saya tadi adalah tentang anak tanggung. Pada usia seperti dia, ada penumpukkan dorongan seksual yang tidak disalurkan. Mungkin dia dipilih menjadi korban karena dia tidak pernah menyalurkan dorongannya melalui masturbasi. Teman-temannya jengkel karena dia tidak mau meniru mereka, lalu dia dikerjain. Saya tidak yakin bahwa kamu tidak menyalurkan dorongan seks kamu. Kamu punya istri yang menurut saya hiperseks.......

RAPKA: Eit, jangan menyinggung-nyinggung soal-soal pribadi......

RESI: Sorry. Saya tarik kembali kalimat terakhir. Tapi maksud saya begini. Kalau kebutuhan biologisnya menonjol, ejakulasi bisa terjadi tanpa fantasi. Sebaliknya, kalau segi kebutuhan biologisnya tidak tinggi, maka dibutuhkan fantasi.

WASIS: Saya belum setuju. Fantasi itu hanya diperlukan pada waktu masturbasi. Pada saat orang berhumistri dengan partner-nya, kenapa dia tidak perlu fantasi?

RAPKA: Kamu ini bloon beneran atau pura-pura bloon sekedar untuk mempertahankan pendapat. Baca tuh hasil-hasil penelitian, enam puluh persen manusia tetap melakukan fantasi pada waktu mengadakan hubungan seks dengan partner-nya. Dan mereka selalu berfantasi seolah-olah sedang berhubungan dengan orang lain. Bukan dengan partner aktualnya. Memangnya waktu tidur dengan istrimu kamu tidak pernah berfantasi? Ha.. Dan jangan kamu pikir bahwa istri kamu tidak membayangkan orang lain....

WASIS: Oh, terus terang saya kadang-kadang berfantasi bahwa saya bercumbu dengan istri kamu. Dan saya yakin bahwa kamu juga sering membayangkan istri saya....

RESI: Stop... stop. Saya ingin ingatkan bahwa ini diskusi ilmiah. Jadi jangan mengungkapkan pernyataan-pernyataan yang bisa menyinggung perasaan.

DURMI: Saya kira diskusi ini sudah selesai. Kita toh sudah menemukan bahwa seks adalah kebutuhan biologis. Titik.

RAPKA: Belum titik. Saya tidak setuju bahwa seks adalah kebutuhan biologis. Kalau seks betul kebutuhan biologis, maka semua perempuan pasti tidak berkeberatan untuk diperkosa.

RESI: Saya tetap pada pandangan semula. Seks adalah perpaduan antara kebutuhan biologis dan kebutuhan psikologis. Mari kita buat perumpamaan antara dorongan seks dengan keinginan untuk makan enak. Orang yang lapar, butuh makanan. Sebetulnya dia bisa makan apa saja untuk mengenyangkan perutnya. Tapi nyatanya, orang banyak yang ingin makan enak. Makannya sendiri adalah kebutuhan biologis. Tetapi makanan yang enak adalah lebih dari sekedar kebutuhan. Kadang-kadang kita ingin makan dalam suasana yang romantis sambil mendengarkan musik. Kadang-kadang kita mengajak orang tertentu untuk menemani kita makan. Dan yang membahagiakan bukanlah makanannya, melainkan percakapan dengan orang itu.

WASIS: Tapi, kalau saya mengajak seseorang untuk menemani makan, sebetulnya yang saya cari bukan makanannya. Kalau orang itu tidak mau diajak makan, saya tetap senang kalau orang itu mau diajak nonton. Yang penting bukan acaranya sendiri, melainkan orang itu. Sebaliknya, kalau saya ingin berhubungan seks dengan seseorang, yang penting justru acaranya itu. Saya tidak akan puas kalau kemudian dia menolak ajakan untuk seks dan sebaliknya mengajak untuk menemaninya belanja ke Pasar Baru. Jadi, kalau saya mengajak orang untuk makan, saya bisa mengalihkan acaranya, asal orangnya tetap. Sebaliknya kalau saya menginginkan seks, rasanya sulit untuk mengalihkan acaranya. Barangkali akan lebih baik kalau acaranya tetap, walaupun orangnya berganti....

RESI: Ada benarnya, tapi ada yang kamu lupakan. Pada waktu mengajak orang makan, kamu tidak sungguh-sungguh ingin makan. Kamu ingin berdua dengan orang itu. Seandainya kamu sungguh sungguh lapar berat, bisa jadi kamu minta dia menunggu sebentar supaya kamu bisa makan dulu dan sesudah itu baru menemani dia untuk nonton. Kondisinya lain dengan keinginan untuk mengadakan hubungan seks. Seperti yang kamu sendiri bilang, yang penting lalu seksnya.

WASIS: Memang. Tetapi ini kan menunjukkan bahwa seks, sama dengan makan, adalah kebutuhan biologis. Sebab, yang penting adalah seksnya, bukan partner-nya.

RAPKA: Saya kira kamu tetap keliru. Dari tadi kamu belum pernah satu kali pun benar. Kamu kan tahu bahwa banyak sekali suami yang nyeleweng dengan perempuan lain. Padahal dia kan punya partner tetap yang setiap saat bisa dimanfaatkan. Dia punya partner tetapi dia menginginkan orang lain. Apakah ini bukan bukti bahwa ada sesuatu yang lain yang dia cari? Dan yang dicari itu pasti sesuatu yang psikologis. Karena kalau dia mencari yang biologis, kan ada istrinya. Ya engga?

WASIS: Enggak tuh. Dia nyeleweng karena istrinya tidak bisa memuaskan kebutuhan biologisnya. Misalnya istrinya sering menolak kalau diajak...

RESI: Saya tahu betul beberapa pasang suami istri yang istrinya tidak pernah menolak, tetapi suaminya toh nyeleweng juga. Jadi tidak benar bahwa suami itu hanya mencari pemuasan biologis. Dan jangan lupa, bahwa penyelewengan seorang suami seringkali tidak sampai pada tingkat hubungan biologis. Ada suami yang nyerongnya hanya sampai ke taraf nonton berdua. Ada yang cuma pegangan tangan, ada yang cuma lirik-lirikan saja bahagianya sudah setengah mati. Ini menunjukkan bahwa ada hal lain yang dicari. Dan yang dicari itu adalah hal-hal yang non biologis.

WASIS: Saya tidak menyangkal bahwa suami-suami―dan juga istri-istri tertentu―seringkali mencari hal-hal lain yang bersifat psikologis. Tapi itu bukan seks. Itu kebutuhan yang lain. Lebih tegasnya, saya mau mengatakan bahwa sebab-sebab penyelewengan tidak selalu masalah seks. Ada istri yang tertarik pada pria lain yang lebih lembut dalam bertutur kata. Dia tidak tertarik pada kejantanan. Dalam hal ini yang dia butuhkan adalah perhatian, bukan seks.

RAPKA: Tapi kenyataan menunjukkan bahwa ketertarikan pada seseorang sangat sering berakhir dengan hubungan ranjang. Akhirnya Si Penyeleweng menemukan bahwa hubungan seks dengan orang yang menarik perhatiannya itu lebih memberikan kepuasan. Kenapa? ... Saya jawab sendiri ya... Karena dalam hubungan seks itu ada kepuasan yang juga bersifat psikologis.

RESI: Mari kita kembali ke perumpamaan tentang seks dan makan. Barangkali sebaiknya kita membedakan antara dorongan seks dengan gairah birahi. Gairah birahi adalah dorongan untuk semata-mata mendapatkan kepuasan biologis. Sementara dorongan seks mencakup gairah birahi dan kebutuhan lain yang bersifat psikologis. Gairah birahi bersifat biologis dan akan memuncak bila tidak disalurkan. Gairah birahi ini sebanding dengan kelaparan. Kelaparan akan memuncak bila tidak disalurkan. Tapi di samping lapar, ada keinginan untuk makan. Ada nafsu makan yang seringkali tidak hanya bersifat biologis. Kita bisa kehilangan nafsu makan bila hidangannya tidak sesuai selera, atau suasananya tidak menyenangkan. Laparnya tidak hilang, tapi nafsu makannya tidak ada. Dan orang bisa saja memaksa diri untuk makan, walaupun tidak ada selera. Contohnya pada waktu kita sakit. Di samping itu, walaupun kita tidak lapar, nafsu makan kita pun bisa terangsang bila hidangannya sangat memikat. Aroma dan warna makanan bisa meningkatkan nafsu makan. Nah, dorongan seks―yang bukan birahi― begitu juga...

DURMI: Kayanya betul juga. Saya mau cerita pengalaman pribadi saya. Ada waktunya saya sama sekali tidak terangsang untuk mengadakan adegan seks. Tapi kalau saya baca cuku porno, atau saya nonton blue film, lalu hasrat birahi jadi meningkat. Jadi blue film itu sama dengan cap cay goreng. (eh, ngomong-ngomong kita kan belum makan nih. Panitia gimana sih?)

RESI: Kasus Durm ini sebuh contoh yang jelas. Kita sebetulnya dalam kondisi lapar. Tapi kita tidak ingat untuk makan. Lalu karena bicara soal makan, lama-kelamaan lapar itu jadi terasa. Dalam soal seks berlaku hal yang sama. Karena nonton blue film, kita jadi terangsang. Gairah birahi itu, yang sebetulnya bersifat biologis, nyatanya bisa terangsang oleh hal-hal yang non biologis.

WASIS: Saya mulai bingung nih. Apa tidak lebih baik kita makan dulu? (Diskusi dihentikan sementara waktu untuk makan malam, dan kemudian dilanjutkan lagi.)

DURMI: Sampai di mana kita tadi?

RAPKA: Kita berhasil membuktikan bahwa blue film itu sama dengan cap cay goreng.

RESI: Saya tadi mengibaratkan seks dengan makan. Pada keduanya, ada kebutuhan yang bersifat biologis dan ada yang psikologis. Tapi yang biologis ternyata bisa dirangsang oleh hal-hal yang psikologis. Karena mencium bau cap cay goreng, Durmi jadi lapar. Barangkali dia sebetulnya tidak betul-betul lapar. Dia berpikir bahwa dia lapar. Sebab, seandainya dia tidak segera makan pun dia tidak akan apa-apa. Orang yang terpaksa puasa dua-tiga hari kan enggak ada yang langsung mati. Dalam soal seks, berlaku hal yang sama. Orang sebetulnya belum perlu menyalurkan ketegangan seksualnya. Tapi, dorongan untuk melakukan aktivitas seks bisa dibangkitkan karena adanya pikiran. Dan pikiran ini timbul karena adanya rangsangan dari luar. Entah nonton blue film, entah baca buku porno, atau bisa juga karena dirayu oleh partner kita.

RAPKA: Jadi menurut kamu, dorongan untuk melakukan humistri itu adalah dorongan yang ditimbulkan oleh pikiran. Bukan dorongan yang muncul karena proses hormonal-kimiawi di dalam tubuh seseorang.

RESI: Saya yakin pada pikiran saya. Pikiran kita dapat memacu kebutuhan kebutuhan yang bersifat biologis. Maksud saya begini. Walaupun suatu kebutuhan biologis, misalnya makan atau seks belum mencapai batas, kita bisa saja meningkatkan kebutuhan itu melalui pikiran. Itu sebabnya orang yang bermasturbasi, seringkali butuh fantasi. Fantasi ini ikut meningkatkan ketegangan biologis untuk mencapai klimaknya. Dalam kondisi ketegangan biologis itu sudah cukup tinggi, maka fantasi tidak dibutuhkan. Fungsi fantasi atau pikiran adalah membantu meningkatkan ketegangan biologis itu.

WASIS: Kalau begitu seks adalah kebutuhan biologis?

Durmi: Kayaknya saya mulai bisa menerima bahwa keinginan untuk mengadakan hubungan seks, berbeda dari dorongan seks yang tadi disebut gairah birahi itu. Saya kira keinginan untuk mengadakan hubungan seks bukan kebutuhan biologis.

RAPKA: Sis, kamu musti mencontoh Durmi, dia sekarang mulai waras.

RESI: Sis, sekarang coba kamu tahan napas barang sebentar. Lalu kamu lepaskan lagi waktu kamu sudah tidak kuat. Kamu bakal mendapatkan kenikmatan. Kenikmatan itu adalah kepuasan biologis. Kenikmatan itu tercapai karena adanya peredaan dari ketegangan otot-otot kamu. Lalu coba kamu meregangkan otot pinggang kamu seperti orang yang melakukan gerakan senam. Kalau kemudian kamu meluruskan lagi tubuh kamu, kamu pun akan mendapatkan kenikmatan. Juga biologis. Lalu kamu coba lari keliling lapangan 27 kali. Kalau kamu berhenti, kamu juga mendapat kenikmatan. Sebabnya adalah karena otot-otot yang tadinya tegang karena dipakai berlari, kemudian mengendor kembali.

WASIS: Apa hubungannya dengan seks?

RESI: Pada waktu kamu mengadakan hubungan seks, secara tidak sadar kamu juga melakukan gerakan-gerakan yang mengakibatkan peregangan pada otot-otot tertentu. Otot-otot kakimu menjadi tegang, begitu juga dengan otot pinggangmu. Di samping itu, secara tidak sadar kamu juga menahan napas. Kamu memacu ketegangan itu sampai sebuah klimaks dan akhirnya semua ketegangan itu dikendorkan kembali. Pengendoran inilah yang mendatangkan kenikmatan. Pada waktu melakukan hubungan seks kenikmatan itu menjadi sangat besar, karena ketegangannya berlangsung secara total. Yang tegang bukan cuma otot pinggang. Kamu tidak tegang hanya karena menahan napas. Seluruh diri kamu menjadi tegang secara bersamaan, dan ketegangan itu mereda kembali juga secara bersamaan. Itulah pangkal dari kepuasan yang biologis.

WASIS: Sampai di sini masih cukup logis. Dan semuanya mendukung pendapat saya bahwa seks adalah kebutuhan biologis. Kepuasannya adalah kepuasan biologis.

RAPKA: Dasar kepala batu.

RESI: Bukan kepala batu. Dia cuma lupa bahwa peregangan otot-otot tidak selalu berpangkal pada kondisi biologis. Otot juga bisa jadi tegang karena hal-hal yang psikologis. Stres di kantor bisa menyebabkan ketegangan otot. Nonton pertandingan bisa menyebabkan ketegangan yang lalu bisa reda setelah favorit kita menang. Peredaan dari ketegangan yang bersumber pada perangsangan psikologis ini pun bisa mendatangkan kenikmatan dan kepuasan. Bayangkan saja betapa puasnya kita ketika favorit kita keluar sebagai pemenang. Kepuasan itu terjadi karena ketegangan psikologis tiba-tiba mereda kembali.

WASIS: Oke, bisa dipahami. Tapi apa hubungannya dengan soal seks? Kita kan tidak mengadakan hubungan seks sambil menonton pertandingan?

RESI: Memang tidak Sis. Tapi pada saat kita menginginkan sebuah hubungan seks, keinginan itu sendiri mendatangkan ketegangan yang psikologis. Kalau kamu tergoda untuk berhubungan seks dengan sekretaris kamu, kan ada ketegangan lain dari pada kalau kamu mau berhubungan dengan istri kamu. Ada deg-degan-nya. Ada ketegangan yang berasal dari ketakutan untuk diketahui orang lain. Ada ketegangan dari kekhawatiran ditolak. Dan lain lain ketegangan yang semuanya bersumber pada pikiran. Nah, ketegangan inilah yang ikut mereda pada saat kamu mencapai puncak hubungan seks. Karena ketegangannya lebih besar, maka kepuasannya lebih besar juga. Kalau kamu makin haus kan minuman itu makin nikmat. Di samping itu kamu juga harus ingat bahwa ada kepuasan-kepuasan psikologis yang tidak langsung berhubungan dengan peredaan ketegangan otot. Kamu kan bisa merasa bahagia bila mendapat hadiah atau pujian. Kamu bisa senang karena mendengar musik yang indah. Kamu bisa puas karena kamu berhasil mencapai sesuatu yang punya arti penting. Puas karena punya pengalaman-pengalaman baru dan lain-lain sebagainya. Semua kepuasan-kepuasan ini bisa menyatu dengan kepuasan biologis yang kamu peroleh, bila hubungan seks itu kamu lakukan dengan partner yang menyenangkan.

WASIS: Jadi kamu mau menganjurkan saya untuk menyeleweng sama sekretaris saya. Itu kan dosa?

RESI: Jangan khawatir. Saya bukan menganjurkan kamu nyeleweng. Tanpa anjuran kamu pun bakal nyeleweng sendiri kalau kamu punya kebutuhan itu..... Saya hanya mau menunjukkan bahwa keinginan untuk mengadakan hubungan seks dengan orang tertentu tidak hanya didorong oleh kebutuhan biologis, tapi juga oleh kebutuhan psikologis. Kamu punya kebutuhan untuk bersaing dengan orang lain. Maka kamu akan bersaing untuk mendapatkan gadis tertentu. Kalau kamu punya kebutuhan untuk menyenangkan hati orang lain, maka kamu tidak akan sampai hati menolak ajakan perempuan tertentu. Kalau kamu punya kebutuhan bertualang, kebutuhan untuk mengambil resiko, maka kamu pun terdorong untuk bertualang, juga dalam hal-hal seks.

WASIS: Jadi seks itu kebutuhan psikologis?

RESI: Bukan seksnya, tapi keinginan untuk melakukan hubungan seks dengan orang tertentu. Dan aktivitas seks berfungsi bukan hanya untuk memuaskan kebutuhan biologis. Kegiatan seks juga bisa memuaskan kebutuhan psikologis. Gairah birahi sendiri menurut saya tetap sesuatu yang bersifat biologis. Hanya saja gairah birahi tidak mendorong kita untuk memilih partner seks tertentu.

DURMI: Lalu apakah keinginan untuk mengadakan hubungan seks itu sebaiknya ditahan atau disalurkan? Apakah keinginan mengadakan hubungan seks itu bisa disalurkan melalui olah raga?

RESI: Kita sepakati dulu bahwa keinginan mengadakan hubungan seks dengan orang tertentu tidak sama dengan gairah birahi... setuju? (YANG LAIN MENGANGGUK). Tadi saya bilang bahwa sumber dari keinginan untuk mengadakan hubungan seks itu adalah kebutuhan yang bersifat psikologis. Jadi, kalau sebuah aktivitas tertentu dapat mengakibatkan terpuaskannya kebutuhan psikologis itu, maka sesungguhnya keinginan berhubungan seks itu bisa saja disalurkan melalui kegiatan lain. Kalau kebutuhan bertualang itu bisa terpuaskan melalui kegiatan naik gunung misalnya, maka kebutuhan bertualang itu tidak akan mendorong dia untuk bertualang dalam soal seks.

RAPKA: Saya tiba-tiba punya pikiran begitu. Kalau saya lapar, sebetulnya saya bisa saja makan yang bukan nasi. Saya bisa makan ubi, bisa makan roti atau bakmi. Tapi saya terbiasa makan nasi. Hal ini membuat saya selalu terdolong untuk mencari nasi. Jadi kalau orang terbiasa memuaskan kebutuhan psikologis tertentu melalui aktivitas seksual, akan sulit bagi dia untuk memuaskan keinginan itu melalui kegiatan lain. Itu sebabnya mengapa orang yang belum pernah melakukan hubungan seks, bisa mendapatkan kepuasan hanya dengan masturbasi. Sedangkan orang yang sudah pernah beristri, keinginannya... lain.

DURMI: Tapi keinginan itu sebaiknya ditahan atau dilampiaskan?

RESI: Kalau kamu melampiaskan sebuah keinginan, kamu akan terdorong untuk mengulangi pelampiasan itu. Manusia itu punya bakat untuk ketagihan. Dan dosisnya selalu akan bertambah. Kalau kamu minum obat bius, maka kamu selalu ingin memperbesar dosisnya. Kalau kamu tadinya bisa puas dengan mengalahkan seorang petenis yang tidak terlalu jago, kamu akan terdorong untuk mengalahkan yang makin lama makin jago. Kalau mulanya kamu cukup puas dengan lari keliling lapangan 27 kali, besok besok kamu harus lari lebih dari 34 kali.

DURMI: Jadi keinginan itu sebaiknya ditahan? Apa tidak ada akibat sampingannya?

RAPKA: Kamu kan ingin mendapat jawaban bahwa keinginan itu sebaiknya dilampaskan... iya kan. Udah, lampiaskan deh asal jangan dengan istri saya.

Tidak ada komentar:

Arsip Blog