TIPS UNTUK MEMILIH ISTRI KEDUA
Tidak banyak istri pertama yang mampu melayani semua keperluan suami. Kesalahan belum tentu ada dipihak istri. Bisa jadi tuntutan suami memang keterlaluan. Tapi, apa pun penyebabnya, akibatnya sama saja. Bila istri pertama kurang memuaskan, suami akan tergoda untuk mencari yang kedua .....
Lalu, bila yang kedua juga dinilai kurang, akan datang yang ketiga, keempat dan selanjutnya. Sebelum semakin runyam, ada baiknya kalau yang kedua dijadikan yang terakhir. Nah, untuk itu ada sejumlah pelajaran yang dapat dipetik dari pengalaman teman-teman di bawah ini.
Tips Pertama: Kenali Kebutuhan Pribadi
(Dari pengalaman Amrint Sitak)
Amrint Sitak sudah membayangkan istri ketiga sebelum menikah istri keduanya yang bernama Maslihah. Ia merasa terjebak oleh Maslihah. Dulunya, perempuan ini cuma cadangan untuk jadi “piaraan” saja. Tapi Maslihah cukup cerdik mengatur perangkap. Akhirnya, Amrint Sitak digiring ke penghulu. Dengan rasa terpaksa tentunya. Sebab sebetulnya Amrint tahu, Maslihah punya banyak kekurangan.
Hari-hari pertama sebagai pria beristri dua, sama sekali bukan hari bahagia buat Amrint. Pikirannya kusut, begitu juga dengan bajunya. Maklum, istri pertama sudah sewot dan tak lagi terlalu peduli dengan keperluan suami. Di lain pihak, setelah jadi istri resmi Maslihah makin banyak saja kekurangannya. Heran juga Amrint, kenapa dulu ia begitu kagum pada Maslihah. Ia terus bertanya pada diri sendiri, apa yang ia cari pada Maslihah. Apa sesungguhnya yang ia butuhkan. Tak ada jawaban. Yang jelas, sekarang rambutnya juga ikut kusut.
Kebingungan mengantarkan Amrint ke seorang psikolog. Dibeberkannya kasusnya. Lalu Si Psikolog mengajukan sebuah pertanyaan. Pertanyaan yang sering ia ajukan pada dirinya sendiri. "Tuan Amrint, sebetulnya apa yang Anda cari ?"
Aneh, sekali ini Amrint tahu jawabannya, "Saya mencari variasi, saya bosan dengan kehidupan yang rutin. Skenario hidup saya terlalu sama dari hari ke hari. Tak ada surprise dalam hidup saya. Istri saya tak pernah membawa kejutan. Di kantor, pekerjaan juga menjenuhkan. Tidak ada tantangan, tidak ada problem baru..."
Tiga kali Amrint berkonsultasi dengan psikolognya, dan setelah itu ia memutuskan untuk ganti pekerjaan. Sekarang ia kerja di laboratorium, yang penuh dengan tantangan untuk menemukan hal-hal baru. Ia begitu asyik bekerja sehingga sering lupa makan dan tidur. Sudah pasti bahwa ia pun lupa pada istri pertamanya. Ia juga lupa pada Maslihah yang semakin dibencinya. Ia bahkan lupa untuk mencari istri yang ketiga. Tanpa sadar sebetulnya ia telah menemukan istri ketiga yang benar-benar dicintainya. Pekerjaan yang penuh dengan tantangan.
Tips Kedua: Sadari Kekurangan Istri
(Dari riwayat Djainal Hazeth)
Amrint Sitak punya teman baik. Namanya Djainal Hazeth. Si Djainal baru saja menceraikan istrinya. Sang Istri dinilai tak sanggup membahagiakannya. Mulanya ia memang berpikir untuk mencari tambahan istri guna menutupi kekurangan istri pertamanya. Tapi, sebagai karyawan rendahan―tinggi badannya cuma 152 cm―ia khawatir tak mampu menanggung ongkosnya. Sebaliknya, untuk sekedar jajan di sana-sini, ia takut akibat di akhirat. Jadi diceraikannya istri pertamanya. Lalu dijumpainya Amrint Sitak untuk dimintai wejangannya.
Amrint menasihatinya untuk mengenali kebutuhan pribadinya. "Kalau kau tahu kebutuhanmu, kau bisa cari istri yang sesuai," begitu kata Si Sahabat. Djainal mencoba, tapi perkawinan keduanya juga penuh topan dan badai. Khawatir harus bercerai dua kali, Djainal kembali menghadap Amrint. Amrint sadar bahwa ilmunya masih cetek. Karena itu, digiringnya Djainal ke kantor psikolognya.
"Jadi Anda telah dua kali menikah?" tanya sang Psikolog setelah Djainal selesai membeberkan riwayatnya. Djainal mengangguk membenarkan dan Sang Psikolog melanjutkan pertanyaan, "Dan kedua-duanya mengecewakan Anda ?"
"Iya, dua-duanya begitu."
"Tuan Djainal, apakah bisakah Anda menceritakan lebih rinci. Dalam hal apa Anda kecewa pada istri pertama, dan dalam hal apa pada istri yang kedua?"
"Saya pikir, dua-duanya sama saja. Saya kecewa pada hal yang itu-itu juga."
"Boleh saya tahu, hal apa itu?"
"Mereka selalu membantah hal-hal yang saya kemukakan. Mereka kurang menghargai pendapat saya. Mereka malas dan tidak pandai memasak. Mereka juga kurang cerdas dan tidak punya minat politik.
"Wah, banyak juga ya, kekurangan mereka."
"Ya, dan sebetulnya masih banyak lagi kekurangan lainnya.”
"Kalau begitu, apa yang tadinya membuat Anda tertarik pada mereka?"
"Terus terang mereka sangat cantik. Dan dalam hal yang satu itu mereka benar-benar luar biasa. Lagi pula pada mulanya―maksud saya pada saat saya jatuh cinta―saya jarang mengajak mereka berdiskusi soal politik. Jadi saya kurang tahu bahwa mereka tidak pernah mendengar kampanye para kontestan. Saya juga selalu mengajak mereka makan di restoran. Jadi saya tidak tahu kalau mereka tak pandai memasak.”
"Dan Anda juga belum tahu kalau mereka itu malas ?"
"Iya. Sebab selama masa pacaran, saya tidak pernah meminta mereka bekerja.”
Masih banyak sekali tanya jawab yang dilakukan psikolog dengan Tuan Djainal Hazeth. Singkat cerita, pada akhirnya Djainal ternyata batal menceraikan istri keduanya. "Demi masa depan anak-anak," begitu komentarnya ketika ditanya. Ia memang tidak terlalu bahagia dengan istrinya ini, tapi ketidakbahagiaan itu berhasil dikompensirnya melalui berbagai kegiatan sampingannya. Ia jadi sering menghadiri pesta perkawinan dan lain kali undangan jamuan makan. Di samping itu, ia juga aktif berkampanye dalam pemilu untuk menyalurkan minat politiknya. Kemalasan istrinya berhasil ditutupi dengan menghadirkan seorang pembantu yang gesit serta cekatan. Memang hal ini membutuhkan biaya ekstra, tapi istrinya rela dipotong uang jajannya.
Tips Ketiga: Ungkapkan Kekecewaan Anda
(Dari biografi Sardi Suhanta)
Sardi Suhanta lahir sebagai anak bungsu dari keluarga beranak lima. Ibunya dominan, dan kakak-kakak perempuannya bertindak sebagai tiran. Semua ini membuat Sardi memandang perempuan sebagai makhluk bengis yang harus dijauhi. Tapi akhirnya, dia toh kawin juga. Dan istrinya ternyata serupa―walau tak sama―dengan ibu dan kakak-kakaknya.
Derita Sardi berakhir ketika ia bertemu Remita, operator telepon yang lemah lembut. Tadinya Sardi mengira Remita itu seorang pria. "Dia begitu berbeda dengan kebanyakan perempuan lainnya," begitu komentarnya. Dan kemudian ia biasa melanjutkan, "Saya benar-benar menyesali mengapa baru sekarang saya kenal Remita. Mengapa bukan sebelum saya menikah.”
Entah bagaimana asal-usulnya, Sardi akhirnya ke seorang psikolog. "Saya ingin Remita di-psikotes," ia meminta. "Saya ingin tahu apakah ia cocok untuk jadi istri saya.”
"Apakah Remita sudah tahu bahwa ia akan Anda minta ikut tes?" tanya Sang Psikolog.
"Belum, dan sebaiknya dia tidak usah tahu. Sebab kalau ternyata dia tidak cocok... " Sardi tak berhasil menyelesaikan kalimatnya.
"Lho, kalau dia tidak boleh tahu, bagaimana caranya menyuruh dia ikut tes?"
"Begini, Pak. Terus terang saya membohongi dia. Saya bilang ada lowongan kerja yang lebih menarik di kantor saya. Mungkin dia bisa diterima. Tapi syaratnya dia harus ikut tes dulu... Nanti kalau dia sudah kemari, Bapak periksa apakah dia cocok untuk saya.”
Sang Psikolog berpikir sejenak dan kemudian berkata, "Baiklah. Tapi untuk mengetahui apakah dia cocok untuk Anda, Anda pun harus menjalani psikotes lebih dahulu. Bagaimana, Anda setuju?"
Lewat psikotes yang dijalaninya, Sardi dibimbing untuk memahami diri sendiri, mengenali kebutuhannya dan menyadari kekurangan istrinya. Akhirnya, dia tidak jadi mengirim Remita untuk tes. Dia sadar Remita tak akan cocok untuknya. Dia justru membutuhkan seseorang yang bisa mengatur dirinya. Hanya saja, dia harus lebih berani untuk berkata "tidak" kalau memang dia tidak setuju. Hanya keberanian seperti itu yang dapat membuatnya hidup bahagia. Bukan seorang istri, baik istri pertama, kedua atau ketiga.
Tips Keempat: Istri Kedua Tak Harus Seorang Perempuan
(Dari Ceramah Sang Psikolog)
Psikolog yang menangani Amrint Sitak, satu waktu diminta berceramah dalam seminar tentang Hubungan Harmonis Suami-Istri. Sebagai rangkuman dari ceramahnya, Sang Psikolog mengajukan beberapa nasihat untuk mencapai kebahagiaan perkawinan. Yang paling penting adalah, "Baik suami maupun istri harus menyadari bahwa mereka tidak mungkin menjadi segala-galanya bagi pasangannya. Tapi istri (dan juga suami), memiliki kekurangan sendiri-sendiri. Seringkali kekurangan ini tak mungkin diatasi oleh perempuan (atau lelaki) lain. Jadi kalau istri kurang memuaskan, jangan buru-buru lari pada perempuan lainnya. Carilah istri kedua yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan. Dan sangat boleh jadi bahwa yang kemudian ternyata dibutuhkan bukanlah seorang perempuan.”
Bicara sampai di sini, Sang Psikolog kemudian mengungkapkan kasus Sardi Suhanta (Dia tidak perlu menggunakan nama samaran, karena nama ini sendiri bukan nama yang asli). Diungkapkannya bahwa Sardi tak akan menemukan kebahagiaan hidup sebelum Sardi berhasil mengalahkan dirinya sendiri. Yang dibutuhkan Sardi bukan perempuan, tapi keberanian untuk membantah kata-kata seorang perempuan.
Nasihat lain Sang Psikolog, ditujukan khusus untuk para istri. "Wahai nyonya-nyonya, sadarilah bahwa tiap lelaki membutuhkan “istri kedua”. “Istri” ini tidak harus seorang perempuan. Ia bisa berwujud hobi, atau pekerjaan. Ada orang yang bisa menjadikan pekerjaan sebagai istri kedua. Orang lain begitu kecanduan main catur atau bridge sehingga tidak pernah punya waktu untuk tergoda oleh sekretarisnya. Tapi, kalau Anda―para Nyonya―memisahkan suami dari “istri” ini, bukan mustahil mereka kemudian terpikat untuk mencari perempuan lain.”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar