Senin, 20 Oktober 2008

BANCI
R Matindas, Februari l989

" . . . . pada akhirnya, banci hanyalah sebuah cap. Stempel untuk mereka yang menyimpang dari nilai yang diagungkan, dari tradisi yang dihormati,  atau, dari ajaran moral yang dianggap sebagai keharusan.. . . . .

Ada cerita tentang seorang pria. Dia berbeda dengan kebanyakan lelaki. Lelaki lain, menyenangi perempuan. Pria yang ini, terpikat pada sejenisnya. Karena itu dia tak layak disamakan dengan lelaki. Tapi dia juga jelas bukan perempuan. Maka diperlukan nama khusus baginya. Dan dia pun dinamakan banci.

Saya tidak tahu siapa banci yang pertama. Yang pasti, jumlah banci tidak hanya satu. Dan dari sekian banyak banci yang ada, pastilah ada perbedaan-perbedaan kecil di antara mereka. Ada banci yang percaya bahwa dia sesungguhnya bukan lelaki. Hanya wujud fisiknya yang menyerupai pria, tetapi jiwanya jiwa perempuan. Instingnya, insting perempuan. Kemauannya, perasaannya, dan segenap sisi kehidupan yang lain adalah perempuan. Banci seperti ini biasanya dinamakan kelompok “transeksual”.
 Golongan banci yang lain, tidak begitu perduli apakah dia pria atau perempuan. Dia cuma tahu bahwa selera seksnya berbeda dari lelaki normal. Dia menyukai sesama pria, dan dia menamakan dirinya kaum “gay”. Dia kira-kira sebanding dengan kaum “lesbian”, yaitu para perempuan yang menikmati seks dengan sesama perempuan.
 Masih ada golongan banci yang lain. Ini kalau mereka cocok untuk disebut banci. Mereka ini sedikit lebih serakah daripara manusia normal. Mereka bisa menikmati lelaki, walaupun juga tidak alergi pada perempuan. Dalam buku-buku yang bersifat ilmiah, mereka digolongkan sebagai kaum “biseks”.

Banci pada mulanya memang istilah untuk penyimpangan seks. Tapi sebetulnya, ada juga penyimpangan seks yang tidak dilakukan oleh banci. Ada kaum “masokis”, yang menghayati penderitaan sebagai bagian dari kenikmatan seks. Sebagai lawannya, ada para “sadistis”, yang justru mendapat kepuasan bila menyakiti orang lain. Kemudian ada pula kelompok “veurism”, yang memperoleh kepuasan dengan mengintip orang lain. Lalu, ada “eksibisionis” yang justru senang memamerkan dirinya dalam keadaan bugil.
 Memahami para banci, sebetulnya memahami perbedaan perilaku seksual. Ini, sebetulnya tidak terlalu sulit. Terima saja bahwa seks adalah sebuah kebutuhan. Sama dengan kebutuhan untuk diperhatikan, atau kebutuhan untuk makan. Lalu mengenai cara memuaskan kebutuhan, selalu bisa ada keanehan. Kita barangkali pernah jumpa dengan orang yang mencari perhatian dengan cara yang aneh-aneh, atau menemukan orang yang makanan kegemarannya justru membuat orang lain muntah. Kalau kita bisa paham bahwa yang enak untuk seseorang bisa menjijikkan bagi orang lain, kita selangkah lebih maju untuk mengerti penyimpangan seks. Selera seks seseorang memang bisa mengerikan bagi orang lain.

Bicara tentang seks, memang sering kali mengasyikkan. Tapi, cerita tentang banci tidak selalu memerlukan bumbu seks. Cerita tentang banci adalah juga cerita tentang ketidakjantanan, tentang penyimpangan penyimpangan dalam urusan yang bukan seks. Istilah banci, mulanya, memang berkaitan dengan seks. Tapi pada akhirnya, istilah ini dipinjam juga untuk menggambarkan laki-laki yang walaupun selera seksualnya normal, namun memiliki kekurangan dalam sifat-sifat jantan. Khususnya, mereka yang tidak punya keberanian seperti seharusnya para lelaki. Tentang banci seperti ini, ada juga cerita tersendiri. Salah satunya, seperti di bawah ini.

Ini cerita tentang seorang prajurit. Dia berbeda dari pahlawan yang lain. Pahlawan yang lain tidak takut mati. Prajurit yang ini rela berkhianat asal bisa tetap hidup. Karena itu dia bukan pahlawan sejati. Tapi, dia jelas bukan tentara musuh. Dia pernah berjuang bersama para pahlawan. Maka diperlukan nama khusus baginya. Dan dia pun disebut pengkhianat. Istilah lain untuk mengganti kata banci.
Laki-laki yang tidak jantan adalah banci. Dia menjadi banci karena dia tidak sungguh-sungguh seperti lelaki. Dia tidak seperti yang diharapkan dari lelaki. Dia banci, karena dengan fisik seperti lelaki, dia bertindak seperti perempuan. Dia tidak berani seperti yang diharapkan. Dia tidak menyukai perempuan. Dia tidak bersikap sebagaimana seharusnya seorang lelaki. Pejuang yang bukan pahlawan adalah juga seorang banci. Dia jadi banci karena dia tidak bertindak seperti seharusnya seorang pahlawan.

Masih banyak cerita lain yang juga mengupas kebancian di abad modern. Di antaranya  cerita tentang hakim yang menyimpang dari jalan keadilan. Tentang ilmuwan yang takut mengungkapkan kebenaran. Ceritanya bisa beda. Tapi intinya tetap sama. Kegagalan mengalahkan keinginan yang tercela. Si Pria, tak mampu mengalahkan keinginan untuk menyayangi sesama pria. Sang Prajurit, tak sanggup mengalahkan keiinginan untuk tetap hidup. Sementara ilmuwan itu gagal mengusir ketakutan untuk menyiarkan kebenaran. Mereka semua sama saja. Mereka semuanya banci. Karena pada akhirnya, banci hanyalah sebuah cap. Stempel untuk mereka yang menyimpang dari nilai yang diagungkan. Dari tradisi yang dihormati. Atau, dari ajaran moral yang dianggap sebagai keharusan.

Penyimpangan, khususnya terhadap ajaran moral, hampir selalu menimbulkan kerisauan. Penyimpangan harus dikoreksi, harus diperbaiki. Kalau perlu, kalau penyimpangan tidak lagi bisa di luruskan, maka yang menyimpang harus dibasmi. Ditiadakan. Maka orang pun ramai-ramai mengutuk para banci. Membunuh para pengkhianat.
Dalam semangat untuk mengoreksi penyimpangan, kita sering lupa untuk mengkaji penyebabnya. Kita lupa bahwa manusia bukan malaikat. Manusia dibekali oleh keinginan yang kadang-kadang tidak sejalan dengan moral yang diagungkan. Keinginan yang dibisikkan oleh para setan. Kita hanya bisa menuntut agar keinginan seperti itu dilawan, ditundukkan. Kita menuntut karena mengira bahwa manusia selalu sanggup mengatur keinginannya. Kita lupa, tidak semua orang mampu melakukannya. Bukankah keinginan itu ada dengan sendirinya. Ada bukan karena kita sengaja menciptakannya?

Kita boleh menuduh bahwa keinginan-keinginan jahat berasal dari bisikkan setan. Kita boleh percaya bahwa mengikuti keinginan jahat adalah sebuah dosa. Tapi, berdosakah pengkhianat yang takut mati? Barangkali, "Ya". Tapi, tidak berdosakah orang-orang yang sengaja bunuh diri? Siapakah yang dosanya lebih besar? Mereka yang sengaja bunuh diri dengan menentang penguasa atau mereka yang takut pada kematian? Sengajakah orang takut pada kematian? (Dan sengajakah seorang pria mengasihi teman yang bukan perempuan?)

Semua pertanyaan itu tidak pernah berani saya jawab. Mereka yang berani mati, pasti menganggap hina orang orang yang takut mati. Mereka yang berani jujur, pasti menganggap rendah orang orang yang takut berterus terang. Sama dengan mereka menyalahkan lelaki yang tidak berhasil mencintai perempuan. Mereka menyalahkan orang lain karena orang lain berbeda dengan dirinya.

Perang terhadap penyimpangan akan terus berlangsung selama orang masih merasa bahwa dialah yang benar. Selama orang berpikir hanya dari sudut pandangannya sendiri. Orang baru berhenti memerangi penyimpangan, bila penyimpangan sudah menjadi tradisi baru, menjadi norma baru, menjadi ajaran moral yang baru. Dan itulah yang sedang terjadi. Orang tak lagi risau ketika pelanggar lalu lintas menyuap Pak Polisi. Mahasiswa tak lagi melapor ketika temannya ketahuan nyontek. Dan orang pun menutup mata terhadap tindakan para koruptor. Lalu, terhadap penyimpangan yang mulai jadi mode, paling banyak, orang cuma bisa mengelus dada.

Banci, pada akhirnya adalah kata bermakna banyak. Ia adalah pria yang bukan lelaki, dan perempuan yang bukan perempuan. Ia adalah juga lelaki yang tidak jantan atau perempuan yang tidak feminin. Singkatnya, banci adalah ketidaktegasan. Banci adalah penjuang yang bukan pahlawan, atau pahlawan yang bukan pejuang. Karena itu, banci adalah juga banci yang bukan banci. Dan sebaliknya, banci yang sejati, yang sungguh-sungguh sungguh banci di luar dan di dalam, pada akhirnya, tak layak lagi disebut banci.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

"Perang terhadap penyimpangan akan terus berlangsung selama orang masih merasa bahwa dialah yang benar. Selama orang berpikir hanya dari sudut pandangannya sendiri."


kebetulan aku islam, jadi panduanku Al-Qur'an (pastinya terjemahan indonesianya), menurut pemahamanku saat ini, banyak firman Tuhan yg menyebutkan, Dia tidak menyukai orang2 yg sombong, melampaui batas, dll (dll maksudnya hal2 yg merugikan org lain dengan 'mengambil' hak orang lain)

*kefasikan dalam diri manusia, meningkatkan ego manusia, merasa superior, kecenderungannya besar untuk merendahkan orang lain..

trus waktu itu aku ktemu ayat yg menceritakan, salah satu anak Adam yg membunuh saudara kandungnya, belajar menguburkan jenazah dari seekor burung. disini aku narik kesimpulan, padahal kalo kita tidak menganggap rendah mahluk lain, kita bisa belajar suatu manfaat darinya..jadi...kalo kita merasa 'lebih' dari orang lain..ruginya sih buat diri sendiri yahh..

trus ktemu ayat lagi yg menyatakan, manusia itu berbuat sesuatu sesuai tabiatnya, dan hanya Tuhan lah yg paling tau jalan mana yg benar. bolak-balik, kebanyakan kita memang pingin jadi Tuhan, nge-judge ini dan itu...padahal menurut aku kebenaran tuh bisa relatif banget sifatnya..

yah mungkin memang itu salah satu PR manusia..dan menjadi pelajaran paling susah buatku juga...melawan ego diri sendiri..gila, susahnya minta ampun..!!heuheuhue..ko curhat colongan..

dan aku merasa banci, karena tidak terlalu berani memperjuangkan apa yg aku yakinin, yg kebetulan sedikit kontradiktif dengan nilai2 yg dianut dalam keluarga..apalagi aku cukup menganut paham "tiap orang tuh beda, punya caranya masing2, selama tidak merugikan orang lain"..tapi sering kali kepentok ama tradisi dalam keluarga yg menurutku lbh senang dg 'standard' jadi aga susah kalo nerima hal lain yang tidak biasa..

hehe..gpp yah Pak Budi..commentnya menyuarakan isi hati..tapi baca tulisan2 Anda, membantu saya untuk refleksi diri..terima kasih!! thx to internet..membuat lbh mudah..hehe.. (",)

Arsip Blog