Senin, 20 Oktober 2008

Jangan Biarkan Si Buta Ke Jurang

Jangan biarkan Si Buta tersandung
Orang buta tidak bisa melihat batu yang menghadang jalannya, atau melihat jurang yang mengancam hidupnya. Adalah tugas kita untuk memperingatkan dia. Bahkan kita pun bertugas memperingatkan orang yang pura-pura buta terhadap bahaya yang mengancam.
Ambil contoh seorang teman yang dimintai bantuan oleh kawan barunya. Kawan baru ini minta dipinjami uang untuk membeli buku pelajaran. Kebetulan Anda tahu―dan teman Anda tidak tau―bahwa si kawan baru ini sebetulnya seorang penjudi yang telah sering menipu orang. Bukankan tugas Anda untuk memberikan informasi ini kepadanya? Kalau teman Anda sudah tahu, dan dia siap untuk ditipu, barangkali tidak banyak lagi yang bisa Anda lakukan.
Akan tetapi dalam keadaan lain, mungkin Anda harus lebih giat berusaha mencegah seseorang melakukan sesuatu yang berbahaya, walaupun ia sendiri telah melihat bahaya itu. Anda boleh mengumpamakan teman Anda ini sebagai orang yang pura-pura buta.
Menghadapi orang yang pura-pura buta, kita seringkali terpaksa campur tangan, karena menyadari bahwa tanpa campur tangan ini, orang itu akan terjerumus dalam jurang maut. Kita barangkali harus melakukan sesuatu walaupun menghadapi resiko akan dibenci olehnya. Coba saja kalau Anda kebetulan tahu bahwa teman Anda mulai menggunakan narkotika. Anda telah memperingatkan dia akan bahayanya, tetapi dia seakan tidak perduli. Akankah Anda berhenti berusaha setelah nasehat Anda tidak digubris? Anda tahu bahwa dia akan sangat marah dan mungkin memusuhi Anda bila Anda melaporkan keadaannya kepada orangtuanya. Akankah hal ini membuat Anda menutup mulut?
Ada contoh lain yang lebih ekstrem. Anda menghadapi teman yang sedang panik karena patah hati. Dia ambil keputusan nekad untuk membunuh
diri. Akan Anda biarkankah dia melakukan hal ini?
Kalau dalam contoh tentang Si Pincang Anda dilarang membantu orang karena sadar akan akibat buruknya, kini Anda dipaksa campur tangan dalam urusan orang karena tahu akibat buruknya. Pertolongan selalu menuntut adanya tanggung jawab. Dan tanggung jawab yang paling utama adalah kepada hati nurani sendiri. Tanyalah pada hati nurani Anda, "Bolehkah saya membiarkan orang yang pura-pura buta menerjang maut?"

Tidak ada komentar:

Arsip Blog