Senin, 20 Oktober 2008

KEBENARAN di luar LOGIKA

Probabilita, Intuisi dan Kebenaran Meta-rasional
R Matindas, Maret 2000

1. Saya diminta bicara dalam suatu kegiatan diskusi yang diberi judul Dialog Ilmu dan Filsafat. Sebelum ada penjelasan lebih jauh saya telah melompat ke sebuah kesimpulan bahwa forum ini bertujuan memperkecil jurang perbedaan antara Ilmu dan Fisafat. Dari mana gerangan datangnya kesimpulan itu? Saya tidak – atau paling tidak belum – melakukan penalaran dengan menggunakan dan mematuhi semua kaidah keilmuan dalam bernalar.
2. Waktu mencari jawaban terhadap pertanyaan dari mana datangnya kesimpulan, sekali lagi saya melompat jauh ke sebuah jawaban – yang sebetulnya adalah juga kesimpulan. Pada tiap-tiap saat awal dalam menghadapi suatu ketidak jelasan, saya menggunakan intuisi. Intuisi yang menurut para ilmuwan tidak boleh diandalkan untuk memastikan bahwa kesimpulan yang saya peroleh adalah kesimpulan yang benar. Saya tidak akan bersikukuh untuk mengatakan bahwa kesimpulan yang saya peroleh lewat intuisi pasti benar. Namun demikian, saya akan berkeras menyatakan bahwa intuisi saya punya kemungkinan untuk benar.
3. Saya lalu mencoba kembali ke masa bayi saya ketika saya terus menerus dihadapkan dengan berbagai sentuhan pengalaman yang bagi saya tidak – atau belum – punya arti. Saya dan juga orang-oang lain sudah belajar sejak masih bayi dan belum memahami bahasa yang digunakan pengasuh kami. Bagaimanakah rangkaian pengalaman yang tidak punya arti dapat mendasari sebuah proses belajar? Bagaimanakah seorang antropolog yang tersesat di dusun terpencil akhirnya mampu menguasai bahasa penduduk setempat? Intuisi saya mengatakan manusia belajar dengan memanfatkan intuisinya. Intuisi membisikkan kepada manusia sebuah dugaan, yang bisa salah tapi bisa juga benar. Pengalaman-pengalaman selanjutnya berfungsi sebagai umpan balik terhadap dugaan yang semula dibuat.
4. Bicara tentang kemungkinan benar dan salah, membawa saya ke konsep probabilita kebenaran (selanjutnya saya singkat sebagai probnar dan secara matematis disimbolkan sebagai pb. Tiap hal yang memiliki probnar sama dengan nol (pb =0) adalah sesuatu yang mustahil. Sebaliknya yang memiliki probnar sama dengan satu (pb =1) adalah hal yang pasti. Pengalaman saya – yang mungkin beda dengan pengalaman orang lain – menunjukkan bahwa probnar tersebar secara normal.. Hanya sedikit kesimpulan yang punya pb = 0. Smalangkanya dengan kesimpulan dengan pb = 1). Kebanyakan kesimpulan memiliki probnar yang berkisar antara nol dan satu.
5. Sekali lagi lewat intuisi, saya menyimpulkan bahwa sedikit sekali intuasi saya yang memililiki pb =1. Sama sedikitnya dengan yang memiliki pb = 0. Jadi kalau saya punya kesimpulan, maka ada kemungkinan 50 % bahwa kesimpulan itu salah dan juga ada 50 % n bahwa kesimpulan itu benar.
6. Kalau saya taat pada azas logika, maka pikiran di butir lima melahirkan sebuah konsep kebenaran-bersyarat. Karena sebuah kesimpulan bisa benar tapi juga bisa salah, maka pasti ada sejumlah kondisi yang harus dipenuhi agar kesimpulan itu benar. Jika hanya sebagian kondisi yang terpenuhi, kesimpulan itu belum sepenuhnya benar [tapi masih lebih banyak benarnya daripada salahnya].
7. Jadi kebenaran bukanlah sesuatu yang hitam-putih. Kebenaran harus dibedakan dari benar. Benar adalah suatu katagori sedang kebenaran adalah variable. Kesimpulan terakhir ini (barang kali) sejalan dengan teori relativitas Einstein. (terus terang yang tidak paham tentang Einstein). Kesimpulan ini barangkali juga sejalan dengan Fuzzi logic – yang juga tidak saya pahami.
8. Kalau anda (pembaca atau pendengar –jika naskah ini bicakan orang lain) bertanya mengapa saya melontarkan hal-hal yang tidak saya pahami, saya akan membela diri dengan mengatakan “saya sedang ingin berdialog’. Dialog akan lebih efektif jika pesertanya meninggal sikap arogan dan sebaliknya dengan jujur mengungkapkan kesangsian. Saya tidak sedang mencoba menyakinkan jalan pikiran saya, sebab saya sendiri menyadari kemungkinan kesalahan dari jalan pikiran itu. Saya sedang meyakini (esok lusa mungkin saya sudah berubah pikiran) bahwa kita perlu menghargai Descard (yang juga kurang saya pahami) yang menganjurkan sikap skepsis dalam menyoal kebenaran. Terhadap suatu kesimpulan saya tidak segera mengatakan itu pasti benar, atau itu pasti salah. Saya memilih untuk mengatakan: “itu benar, kalau . . . .”.
9. Kebenaran-bersyarat membuka peluang untuk memahami [tanpa menyetujui] jalan pikiran orang lain yang berbeda dengan jalan pikiran sendiri. Kepada seorang pasien penderita gangguan psikologis saya bisa mengatakan: “anda benar, kalau yang anda maksud dengan wanita adalah sebatang pohon pisang yang diberi bedak dan gincu”
10. Memang agak gila untuk menyamakan pohon pisang dengan wanita. Namun demikian, itulah yang banyak dilakukan pasien para psikolog. Pendukung positivisme berhak menyalahkan keyakinan-keyakinan yang dimiki para pasien. Di lain pihak, psikolog harus bersedia memahami dasar pemikiran mereka (pasien) sebelum mampu mengupayakan pertolongan.
11. Disiplin psikologi terlalu banyak berkaitan dengan konsep-konsep yang bersifat intangible (tak kasat mata) dan karenanya tak terukur (unmeasurable). Dengan demikian akan sangat sulit untuk membuktikan kebenaran proposisi-proposisi psikologis, jika syarat pembuktian harusnya mengikuti tuntutan kaum empirisim atau positivism. Bagaimankah caranya menguji bahwa seseorang benar-benar meyakini apa yang dikatakannya? Bagaimanakah menyakini bahwa seseorang hanya berpura-pura merasa bersalah?
12. Saya tidak akan keberatan jika para positivist menganggap psikologi bukan ilmu, paling tidak bukan ilmu menurut definisi mereka. Seperti kepada pasien yang mengalami gangguan kejiwaan, kepada mereka pun saya akan berkata: “anda benar, kalau yang anda maksudkan sebagai ilmu adalah hal yang dianggap ilmu menurut definisi aliran anda”.
13. Untuk saya tidaklah penting apakah psikologi di anggap sebagai ilmu atau bukan ilmu. Yang jauh lebih penting adalah dapatkah psikologi dimanfaatkan untuk membantu manusia memperoleh kehidupan yang lebih baik. Kadar manfaat ini akan tergantung pada sejauh mana ramalan yang dibuat berdasarkan kaidah-kaidah psikologi akan terjadi seperti yang diramalkan. Di sini mungkin timbul sebuah persoalan serius. Bagaimana menguji ketepatan ramalan psikologi. Apa kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan benar-salahnya ramalan itu. Suka atau tidak, kita kembali persoalan kebenaran.
14. Saya lalu mencoba berpikir dengan menggunakan kaidah-kaidah logika. Saya mulai dengan pangkal pikir bahwa kesimpulan yang benar adalah kesimpulan yang sesuai dengan kenyataan. Tapi saya akan menemui kesulitan karena saya dihadapkan dengan kenyataan bahwa kenyataan bisa di salah tafsirkan. (Paling tidak saya pernah salah tafsir sehingga selalu ada keraguan apakah sekarang ini saya sedang tidak salah tafsir).
15. Kesimpulan tidak identik dengan kenyataan dan juga tidak identik dengan informasi. Dalam membuat kesimpulan, saya menggunakan informasi. Informasi yang saya gunakan bisa benar, tetapi juga bisa salah. Untuk menguji kebenaran sebuah informasi, saya harus menggunakan logika dan membuat kesimpulan yang juga mengandalkan informasi. Informasi ini pun bisa benar dan juga bisa salah.
16. Putaran pikiran seperti di atas membuat saya harus menyimpulkan bahwa logika semata tidak menjamin kebenaran. Dengan kata lain, logika tidak bisa diandalkan, Tapi, karena kesimpulan bahwa logika tidak dapat di andalkan saya buat dengan menggunakan logika, maka harus diterima bahwa kesimpulan terakhir pun tidak dapat diandalkan.
17. Kalau kita hanya berpikir hitam putih, maka kesimpulan bahwa “kesimpulan sebelumnya” [yaitu bahwa logika tidak dapat diandalkan] adalah kesimpulan yang salah, mengharuskan kita menyimpulkan bahwa logika dapat diandalkan. Sebuah kesimpulan yang sebelumnya sudah ditolak.
18. Satu-satunya cara untuk memahami inkonsistensi di atas adalah dengan menerima kemungkinan bahwa kebenaran tidaklah sesuatu yang hitam atau putih. Dengan kata lain, tiap kesimpulan mengandung probabilita kebenaran. Makin tinggi probabilita kebenaran makin dapat kesimpulan itu dijadikan pegangan dalam menyusun sebuah rencana, khususnya rencana penanggulan gangguan-gangguan kejiwaan.
19. Yang kemudian jadi persoalan adalah bagaimana menentukan tingkat probabilita sebuah kebenaran. Saya tidak bisa menjawab pertanyaan ini secara pasti. Tapi mengikuti intuisi, saya akan mengatakan bahwa cara terbaik adalah memadukan intuisi, penalaran dan pengalaman. Lewat kerja sama antara ketiga cara menguji kebenaran itu dapat mengenal sebuah kebenaran lain, kebenaran yang tidak terjelaskan oleh nalar. Suatu kebenaran yang untuk sementara waktu dapat disebut sebagai kebenaran meta-rasional.
20. Kebenaran meta-rasional adalah kebenaran yang tidak dapat diuji baik dengan menggunakan logika semata, maupun dengan menyelidiki fakta-fakta. Kebenaran ini diterima seseorang sebagai keyakinan dan menjadi penting karena mempengaruhi bagaimana seseorang bertingkah laku dalam merespons persoalan-persoalan hidup yang berkaitan dengan moral dan etika. Kebenaran meta-rasional adalah pegangan yang digunakan seseorang ketika mencoba menjawab pertanyaan: “Benarkah hal itu sebuah keharusan”
21. Ketika dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti: ‘apa yang sebaiknya saya lakukan?’ atau ‘apa yang seharusnya saya lakukan’ yang jadi bahan pertimbangan bukan lagi logika semata. Keyakinan moral seseorang akan ikut mengambil peranan. Dan ketika ia bertindak melawan keyakinan moralnya, seringkali seseorang lalu dikejar perasaan bersalah.
22. Perasaan bersalah pun sebetulnya bersumber pada sebuah kesimpulan. Untuk psikolog, tidak terlalu penting apakah kesimpulan itu benar atau tidak. Yang jauh lebih penting adalah sejauh mana orang yang bersangkutan meyakini kesimpulan itu.

Tidak ada komentar:

Arsip Blog