KRITIK
Santapan Rohani Bergizi Tinggi
Oleh: R. Matindas
Untuk bisa tumbuh dengan baik, setiap anak memerlukan santapan bergizi. Santapan yang dibutuhkan anak ini tidak terbatas pada santapan ragawi saja, melainkan meliputi pula santapan untuk perkembangan kejiwaannya. Di antara berbagai jenis santapan rohani, kritik merupakan jenis santapan dengan “kadar gizi” yang paling tinggi.
Hakikat kritik
Kata “kritik” bukanlah kata Indonesia asli. Kata aslinya berasal dari kata Yunani krinen, yang berarti mengurai-uraikan atau memecah-mecah menjadi bagian yang lebih kecil. Oleh karena itu, tidaklah tepat untuk menyamakan kritik dengan kecaman. Walaupun kecaman juga merupakan hal yang dibutuhkan seorang anak dalam perkembangannya, akan tetapi kecaman yang tidak pernah diimbangi dengan pujian hanya akan membuat anak berkembang menjadi orang yang selalu merasa dimusuhi dan disalahkan. Sebagai akibatnya, ia dapat berbalik memusuhi dunianya dan menganggap orang-orang lain pun sama jeleknya dengan dengan dirinya.
Di lain pihak, kritik tidak selalu berarti kecaman. Kritik dapat pula berarti pujian. Hakikat dari suatu kritik adalah mengurai-uraikan serangkaian perbuatan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Bagian-bagian yang lebih kecil inilah yang kemudian diberi kecaman, atau pujian. Untuk jelasnya, ikuti contoh berikut ini.
Seorang anak―tanpa disuruh―mengangkat gelas kotor bekas minuman tamu dan membawanya ke dapur sambil bernyanyi-nyanyi. Jelas ia kurang berhati-hati. Tiba-tiba gelas itu jatuh dan pecah. Ibunya―yang memang menderita penyakit jantung―berteriak dan mengancamnya. Si Anak terdiam sebentar, kemudian merenungkan kesalahannya. Apakah yang merupakan kesalahannya? Akankah ia menyadari bahwa kesalahannya hanya terdapat pada sebagian dari rangkaian tigkah lakunya? Ataukah ia akan melihat keseluruhan tingkah lakunya sebagai suatu kesalahan?
Tunjukkan bagian mana yang salah
Kalau Si Ibu hanya mengecam Anak, tanpa lebih dulu menguraikan rangkaian perbuatannya, Anak mungkin saja mengasosiasikan kecaman yang ia terima dengan keseluruhan rangkaian perbuatannya, mulai dari mengangkat gelas yang ditinggalkan oleh tamu itu. Padahal sesungguhnya inisiatif untuk membantu Ibu mengangkat gelas bukanlah hal yang ingin dikecam Si Ibu. Ibu sebetulnya ingin mengecam keteledoran Si Anak dalam membawa gelas. Uraian terakhir inilah yang ingin dikecam Si Ibu. Tetapi bagaimana Anak akan tahu seandainya Ibu tidak mengatakannya secara khusus? Keadaannya akan lain seandainya Ibu tidak cuma mengecam, melainkan memberikan kritik sebagai berikut. “Kamu tadi sudah mencoba membantu Ibu membawakan gelas. Perbuatan ini baik sekali, sama sekali tidak salah. Tetapi, kamu membawa gelas itu secara tidak hati-hati. Ini yang membuat Ibu tidak senang, dan ini yang harus kamu perbaiki.”
Berikan juga pujian untuk yang baik
Kritik yang diberikan dengan cara di atas akan membantu anak memisahkan bagian-bagian dari tingkah lakunya. Ia jadi tahu bahwa yang dikecam bukanlah perbuatan membantu ibu, melainkan membawa gelas secara tidak berhati-hati. Menunjukkan bagian mana yang salah dari suatu rangkaian perbuatan juga membantu anak untuk tidak menafsirkan kecaman terhadap perbuatannya sebagai kecaman pribadinya. Kalau anak tidak pernah tahu bahwa yang dikecam adalah sebagian dari perbuatannya, ia mungkin sampai pada kesimpulan bahwa yang dikecam bukanlah pribadinya, melainkan melainkan pribadinya. Kalau ia menilai bahwa semua yang ia lakukan salah maka ia akan segara sampai pada kesimpulan bahwa dirinya pribadilah yang tidak disenangi oleh ibunya. Ia akan merasa sebagai anak yang tidak disayangi, sebagai anak yang dimusuhi.
Untuk mencegah kesimpulan yang keliru ini, anak harus dihadapkan pada kenyataan bahwa ada juga bagian dari perbuatannya yang mendapat pujian. Dengan demikian, ia akan sadar bahwa ada bagian dari dirinya yang disenangi; ada yang dikecam. Kesadaran ini akan membawanya pada kesimpulan bahwa bukan pribadinya secara utuh yang dikecam, melainkan perbuatan tertentu. Ia akan belajar bahwa untuk mengurangi kecaman yang diterimanya, ia harus mengurangi melakukan perbuatan-perbuatan tertentu.
Jangan mengecam hal-hal yang tidak dapat diubah
Setiap orang kalau bisa ingin menghindari kecaman. Setelah orang tahu bahwa kecaman diberikan terhadap perbuatan, ia akan berusaha untuk mengubah perbuatannya. Kalau ternyata ia tidak bisa mengubahnya, ia segera tahu bahwa ia tidak dapat menghindarai kecaman. Hai ini akan membuatnya tidak bahagia. Untuk menghindarkan seseorang dari perasaan tidak bahagia, kita harus mengurangi kecaman terhadap hal-hal yang tidak dapat diubah dari seseorang. Seorang anak yang memang tidak berbakat matematika tidak perlu dikecam karena nilai matematika rendah di rapornya. Keterbatasan kemampuan seseorang tidak pernah boleh dikecam. Kalau toh ingin mengecam, kecamlah usahanya atau cara belajarnya yang mungkin diubah. Kritiklah―artinya uraikanlah―semua perbuatan, mulai dari keinginan untuk mencapai sesuatu itu sampai kepada usaha yang telah dilakukan untuk mencapainya. Orang yang dikritik perlu tahu dimana kesalannya. Kesalahan itu mungkin terletak pada keinginan mencapai sesuatu yang di luar batas kemampuan. Kesalahan mungkin terletak pada kebiasaan untuk meremehkan atau menggampangkan persoalan. Kesalahan juga mungkin terletak pada strategi yang kurang tepat.
Kecaman terhadap kegagalan hanya akan membuat seorang anak merasa seperti jatuh tertimpa tangga; dikritik akan membuatnya merasaa diperhatikan, dibantu untuk memperbaiki prestasinya. Kritik―yang sekaligus berisi kecaman dan pujian―mungkin dapat mengembalikan semangat anak yang pudar setelah kegagalannya.
Berikan kritik pada waktunya
Ada waktu untuk lahir dan ada waktu untuk mati. Begitu juga ada waktu untuk mengkritik, ada waktu untuk menunda kritik, dan bahkan ada waktu untuk mendiamkan sama sekali. Seorang anak yang telah tahu persis kesalahannya, dan tahu pula bagaimana cara memperbaikinya, mungkin tidak memerlukan kritik. Lebih-lebih bila ia telah menyesali kesalahannya dan berniat untuk memperbaikinya. Dalam hal ini, kritik hanya akan menjadi alat pemuas nafsu Si Pemberi Kritik. Kita harus sadar bahwa kritik diberikan untuk orang yang tidak sadar. Tujuan utama kritik bukanlah agar kita melampiaskan kejengkelan kita pada orang lain. Si Ibu yang menjerit sewaktu anaknya memecahkan gelas, mungkin lebih mementingkan dirinya daripada anaknya. Ia marah, ia jengkel karena anaknya memecahkan gelas. Ia mengecam anaknya bukan dalam rangka membina anak itu melainkan untuk kepuasan hatinya. Dan kebiasaan memuaskan hati ini dapat berlanjut pada tidak hanya dengan kata-kata, melainkan dengan tangan, rotan, atau mungkin pula dengan menghukum anak tidak boleh makan selama seminggu. Barangkali malah akan lebih baik kalau Si Ibu memaksa anaknya mengganti gelas yang pecah itu dengan memotong uang saku atau mengurangi tabungan Si Anak. Yang kurang adil adalah kalau di samping menghajar Si Anak sampai babak belur, ia masih disuruh mengganti gelas yang pecah.
Waltu yang tepat untuk memberi kritik dipengaruhi juga oleh situasi ketika kesalahan terjadi dan umur Si Pelaku. Makin kecil usia anak, makin segera suatu kritik harus diberikan. Sebabnya adalah karena anak yang masih sangat kecil sulit untuk mengingat perbuatannya. Di lain pihak, makin besar seorang anak, ia makin mampu mengingat urutan perbuatannya. Di samping itu, anak yang kecil tidak terlalu apa-apa bila dikritik di depan teman-temannya, sementara anak yang sudah besar lebih banyak mempunyai rasa malu. Dipuji di depan teman pun bisa menimbulkan rasa malu, apalagi bila kritik yang dilontarkan lebih banyak berupa kecaman.
Biasakan untuk mengkritik diri sendiri
Kritik boleh ditunda, atau bahkan ditiadakan. Syaratnya, anak harus bisa mengkritik diri sendiri. Anak harus bisa mengecam kesalahannya, dan juga―ini sangat penting―memuji dirinya atau merasa bangga pada dirinya bila berhasil melakukan hal yang baik. Kalau anak bisa memuji diri sendiri, ia tidak lagi melakukan sesuatu karena mengharapkan imbalan dari pihak lain. Ia akan terbiasa melakukan sesuatu atas dasar pertimbangannya. Bagaimana caranya agar ia terbiasa melakukan hal ini? Bagaimana caranya agar ia terbiasa mengkritik diri sendiri? Jawabannya hanya satu: Biasakan anak mengkritik diri sendiri. Karena kalau ia dewasa kelak, tidak akan ada lagi orang dewasa (orangtua) yang siap di sampingnya untuk mengkritik.
Untuk membiasakan anak mengkritik dirinya, kita perlu sering mengajukan pertanyaan kepada anak mengenai hal-hal yang telah ia lakukan. Latihlah anak untuk menemukan sebab-akibat dari suatu rangkaian perbuatannya. Biarkan anak menemukan sendiri kesalahan dan juga kelebihannya. Pada kasus “gelas pecah” yang dikemukakan di awal artikel ini,
Si Ibu mula-mula harus mengatasi rasa jengkelnya. Dalam keadaan jengkel, kita tidak mungkin mengejar dengan baik. Setelah menguasai rasa jengkel, selidikilah lebih dulu apakah anak merasa bersalah dengan pecahnya gelas tersebut. Kalau ia tidak merasa salah, ia perlu diberi tahu bahwa pecahnya gelas itu membuat Si Ibu kecewa atau jengkel. Ibu dapat mengajukan rangkaian pertanyaan berikut, “Kamu tahu apa yang sekarang Ibu rasakan? Kamu tahu kenapa Ibu sedih? Kenapa kira-kira gelas itu sampai pecah?”
Dengan sendirinya, pertanyaan susulan tergantung pada jawaban yang diberikan Anak. Kalau Anak mengatakan bahwa gelas itu pecah karena ia kurang hati-hati, Ibu mungkin masih perlu melanjutkan pertanyaan, “Yang tidak hati-hati itu bagaimana?”, dan anak mungkin menjawab, “Karena saya membawanya sambil berjoged.”
Rangkaian pertanyaan tidak boleh dihentikan sampai Si Anak menyadari kesalahannya. Anak juga perlu tahu bahwa ada perbuatannya yang lain yang tidak salah dan menyenangkan Si Ibu. Dalam hal ini, Ibu mungkin dapat menutup pembicaraan dengan perkataan, “Tapi, sebetulnya diam-diam Ibu senang karena kamu sudah mau membantu Ibu membereskan gelas itu. Cuma lain kali kamu musti hati-hati. Jangan bawa gelas sambil berjoged.”
Tunjukkan jalan keluarnya
Kritik yang berkadar gizi tinggi tidak hanya mengandung kecaman dan pujian. Kritik yang baik juga harus diikuti dengan saran-saran untuk perbaikan. Setelah anak tahu bagian mana dari perbuatannya yang salah, ia juga perlu tahu kenapa perbuatannya salah. Selanjutnya ia perlu tahu bagaimana cara memperbaiki kesalahan itu.
Sudah dikatakan bahwa tidak ada gunanya untuk mengecam hal-hal yang tidak dapat diubah. Menunjukkan kesalahan tanpa memberikan saran perbaikan sesungguhnya tidak berbeda dengan mengecam hal-hal yang tidak dapat diubah. Anak yang sudah tahu kesalahannya tetapi tidak tahu bagaimana cara memperbaiki kesalahan itu hanya akan terus-menerus menyalahkan dirinya, atau berbalik membenci orang yang mengkritiknya. Untuk mencegah hal ini, suatu kritik harus selalu diiringi dengan kata-kata, “Lain kali, .....” Kritik memang selalu diberikan untuk kali (saat) yang akan datang. Si Anak yang telah memecahkan gelas itu, akan lebih terhibur setelah mendengar, “Lain kali kalau pegang gelas, jangan sambil berjoged.”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar